Hidayah, dengan Judul Lumpuh di Pusara Ibu. Ketika saudara semuslim lainnya merayakan kemendangan, ia malah menikmati penderitaan. Ia menangis dan meratap-ratap pilu di pusara ibunya, dengan kondisi satu kakinya yang lumpuh.
Kehidupan Kota besar adalah kehidupan yang penuh ambisi dan persaingan. Setelah beberapa minggu di ibukota ini. Salim yang sarjana belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia harus bersaing dengan ribuan pelamar kerja lainnya. Apalagi, ia bukan manusia yang terbiasa menitipkan uang pelicin (menyogok) untuk sebuah pekerjaan. Kendati demikian, ia tetap bersabar. Ia pun selalu menyempatkan shalat di Masjid bila adzan memanggil. Ia masih sering mendawamkan puasa Sunnah Senin-Kamis, sebuah kebiasaan yang sering dilakukannya sejak sekolah.
Sebuah munajat terdengar lirih selepas Shubuh. Suara perempuan tua yang bergetar-getar, bergumul dengan isak tangis : " Ya Allah.... berikanlah keselamatan untuk anakku selama ia pergi merantau. Berilah ia kesuksesan....."
Mukena yang dikenakannya mulai basah oleh butir-butir air mata yang kian deras mengalir. Ia masih tersedu-sedu. Hatinya masih berharap-harap cemas.
Halima, nama perempuan itu. 60 tahun, usianya, Ia sejatinya ridha melepaskan anaknya mengais rezeki di Kota Besar, tapi dadanya masih terasa sesak. Perasaan takut kehilangan untuk kedua kalinya menyergap batinnya. Ia khawatir akan berjibaku dalam kesepian untuk kedua kalinya. Ya, selepas suaminya meninggal dunia 10 tahun lalu, ia memilih tidak menikah lagi. Dan kini, Salim, 24 tahun, anak semata wayangnya harus pergi. Meski ini hanya sesaat, tapi tetap saja ia merasakan getir di dada.
Air mata itu masih membasahi pipinya ketika Salim, akhirnya, bersimpuh di hadapannya. "Mak, jangan menangis terus. Salim berjanji akan pulang kampung. Salim juga tidak mau terus-menerus tinggal di kota Besar," ujar Salim saat hendak pamit pergi di pagi yang masih buta. Sang ibu pun berusaha meredakan tangisnya dan berkata :
"Nak.,! Kau mau berjanji tak akan melupakan, Mak!"
"Iya. Mak. Salim Janji. Lagian, lumpuh satu kaki Salim kalau sampai melupakan, Mak."
"Husss! Kamu ini bicara apa? Jangan ngomong sembarangan! Nanti dicatat malaikat."
"Ya sudah. Salim berangkat, Mak, Nanti keretanya keburuan berangkat. Doakan Salim." Mak tutur Salim seraya mencium tangan ibunya.
Berbekal gelar sarjana arsitektur dari sebuah perguruan tinggi negeri didaerahnya, Salim pun akhirnya berangkat menuju Kota Besar, meraih impiannya. Ia berharap semoga kelak dapat membahagiakan ibunya. Ia ingin menebus semua pengorbanan sang ibu dan almarhum ayahnya dengan sebuah kesuksesan. Ia berharap kelak dapat membeli kembali tanah-tanah warisan yang dijual ibunya demi membiayai kuliahnya dulu.
Meraih Mimpi
Kehidupan Kota besar adalah kehidupan yang penuh ambisi dan persaingan. Setelah beberapa minggu di ibukota ini. Salim yang sarjana belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia harus bersaing dengan ribuan pelamar kerja lainnya. Apalagi, ia bukan manusia yang terbiasa menitipkan uang pelicin (menyogok) untuk sebuah pekerjaan. Kendati demikian, ia tetap bersabar. Ia pun selalu menyempatkan shalat di Masjid bila adzan memanggil. Ia masih sering mendawamkan puasa Sunnah Senin-Kamis, sebuah kebiasaan yang sering dilakukannya sejak sekolah.
Ternyata Allah Maha Mendengar. Suatu siang, selepas melamar pekerjaan di sebuah kantor dan sholat Dzuhur di Masjid di kawasan perkantoran elit, ia bertemu dengan Karim, sahabat karibnya semasa SMP dulu. Sang kawan yang juga habis sholat itu tak menyangka bertemu Salim. Mereka akhirnya melepas kangen dan berbincang-bincang. Dari percakapan itulah terungkap bahwa Karim sudah merantau sejak lulus SMA dan kini bekerja sebagai supir pribadi bos perusahaan properti. Ya, selagi bisnya meeting, Kartim memang sering menyempatkan diri berleha-leha di masjid sambil menunggu Dzuhur. Salim pun bercerita ihwal kondisinya, terkait kedatangannya ke Kota Besar. Sebagai sahabat, Karim tentunya iba melihat sahabat solehnya yang tampan dan pintar itu belum juga mendapatkan pekerjaan. Lalu, ia mencoba melihat-lihat Ijazah Salim dan sungguh terkejut saat melihat nilai indeks prestasi Salim yang sangat bagus (cumlaude). Apalagi Salim seorang sarjana arsitektur. Tiba-tiba, Karim terhenyak dan berkata :
"Wah...wah...Lim! Bagaimana kalau kamu kukenalkan dengan bosku? Nyonya Siska namanya. Beliau seorang janda. Suaminya yang selama ini menjalankan roda perusahaan sudah meninggal dunia setahun lalu lantaran penyakit kanker prostat. Ahli waris tunggalnya yah istrinya itu. Kebetulan ibu suka cerita-cerita kalau ia membutuhkan seorang arsitek yang betul-betul jujur, saleh, idealis dan tidak oportunis untuk dijadikan karyawan. Ia butuh karyawan yang memang benar-benar bisa diajak diskusi seputar arsitektur proyek-proyek propert ke depan. Bosku membutuhkan tangan kanan yang akhlaknya seperti kamu, Lim Ia ingin memiliki arsitek khusus yang idealis dan tidak oportunis seperti kamu, Lim. Kalau kamu mau, nanti kukasih tahu Bosku?" terang Karim Panjang lebar. Salim sendiri senang bukan kepalang mendengar akan ada kesempatan bekerja. Namun, ia ragu, apa betul Bos Karim mau menerima ia yang belum berpengalaman.
"Tenang saja..LIm! Tidak usah khawatir.... Nanti kutelpon kamu yah bila ibu setuju....? Tegas Karim menenangkan Salim yang nampak ragu dan tak percaya diri.
"Baik, Rim. Terima kasih sebelumnya," jawab Salim seraya mengangguk-angguk dan tersenyum simpul bahagia. Setelah bertukar alamat dan nomor telepon, mereka lalu berpisah.
Nah kisah berikut ...... Asmara Dua Dunia
Category: Kisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar