Syeikh Abdurrauf As-Sinkili, Mursyid Profilic dari Sinkil Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf As Sinkili dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia. Ia seorang ulama profilic (produktif) dalam menghasilkan karya intelektual.
Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peristiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syaikh Kuala luput dari amukan air bah yang dahsyat. Padahal letak makam tersebut berada di pinggir pantai. Tentu saja cerita ini menjadi buah bibir masyarakat kala itu. Bahkan ada yang mengkeramatkannya. Syeikh Kuala memang tokoh yang dihormati dan mempunyai pengaruh hingga sekarang.
Makam Syeikh Abdurrauf Sinkli |
Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At ‘Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia. Kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu "lahir' saja tetapi juga ilmu"batin".
Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai. Patut disayangkan catatan tentang kehidupannya sangat minim. Kalaupun ada hanya sejarah lesan saja dan sedikit komentar dalam karya-karyanya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa Syeikh Kuala lahir di Singkel pada tahun 1035 H. Nama kampungnya ini kemudian melekat pada dirinya. Nama aslinya Abdurauf. Dalam dunia ulama Melayu atau Jawi namanya disebut sangat panjang yaitu Syeikh Abdurauf al Jawi Al Fansuri as Sinkili.
Biografi ulama yang satu ini hanya bisa dilihat sekilas saja. Itupun hanya sepotong tulisan dalam berbagai kitabnya. Riwayatnya sebatas bagaimana ia belajar dengan beberapa guru. Tidak secara spesifik menyebutkan tentang biografinya. Ayahnya menjadi guru pertama dalam pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri.
Di sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi. Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke seko¬lah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana. Tercatat Syeikh Abdurauf pernah menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji.
Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal. Syeikh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah Syeikh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu "lahir' dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam'an di Bait al faqih dan Mauza'. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembim- bing spiritual di jalan Allah. Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf pulang kampung.
Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat. Pengaruhnya sangat penting di kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi "Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala" maksudnya, "Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan.
Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan. Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az- Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: "Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf."
Mursyid Syatariyah Sebagai ulama tasawuf, Syeikh Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya beru-jung padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon. Dalam bertasawuf Abdurauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam).
Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil. Syeikh Abdurauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan olehnya.
Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir'at at Tulab fi Tahsil Ma'rifat Ahkam asy Syar'iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan RasuhNyadan asal usul mistik. Di akhir buku dicantumkan tentang sedikit riwayat hidupnya. Syeikh Abdurauf wafat pada tahun 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hinnga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syeikh Kuala.
Sumber : Majalah Cahaya Sufi
Category: Kisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar