Biografi dan Riwayat Imam Al Ghazali

Biografi dan Riwayat Imam Al Ghazali




Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Kisah Islamnya Bilal Bin Rabah Al Habsyi ra. Dan Penderitaannya

Kisah Islamnya Bilal Bin Rabah Al Habsyi ra. Dan Penderitaannya

Bilal Al-Habsyi adalah sahabat yang masyhur. la adalah muadzin tetap masjid Nabawi. Pada mulanya, ia adalah seorang budak milik seorang kafir. Kemudian ia memeluk Islam, yang menyebabkan ia banyak menerima berbagai siksaan. Umayyah bin Khalaf adalah orang kafir yang paling keras memusuhi Islam. la telah membaringkan Bilal di atas padang pasir yang sangat panas di terik matahari, sambil meletakkan batu besar di dadanya, sehingga Bilal sulit bergerak sedikit pun. Lalu dikatakan kepadanya, "Apakah kamu bersedia mati seperti ini? Atau tetap hidup, dengan syarat kamu tinggalkan Islam?"
Namun, ia tetap mengucapkan, "Ahad,....Ahad.....", bahwa yang harus disembah hanyalah Allah swt.. Pada malam hari ia dirantai, dan dicambuk terus menerus sehingga badannya penuh luka. Dan siang harinya, dengan luka tersebut, ia dijemur kembali di padang pasir panas, sehingga lukanya semakin parah. Tuannya berharap ia akan meninggalkan Islam atau ia mati perlahan-lahan dengan cara itu. Orang yang menyiksa Bilal ra. silih berganti, kadang-kala Abu Jahal, atau Umayyah bin Khalaf, bahkan orang lain pun ikut menyiksanya. Mereka berusaha menyiksanya lebih berat lagi. Ketika Abu Bakar ra. melihat hal itu, maka beliau menebusnya, dan langsung memerdekakannya.

Hikmah:
Orang-orang Arab musyrik telah menjadikan berhala sebagai sesembahan mereka. Untuk itulah sebagai lawannya, Islam mengajarkan ketauhidan hanya kepada Allah swt.. Inilah yang menyebabkan selalu terucap dari lisan Bilal ra.; "Ahad,..Ahad...!" Yaitu karena hubungan dan kecintaannya yang tinggi terhadap Allah swt..

Sekarang, kita banyak melihat cinta yang palsu. Lihatlah bagaimana cinta Bilal ra. kepada Allah swt.. Cinta itulah yang menyebabkan ia rela disiksa sehingga penderitaan demi penderitaan menimpanya. Meskipun para pemuda kafir Mekkah menggiringnya di jalan-jalan sambil menghinanya, ia tetap mengucapkan, "Ahad..., Ahad...!" Inilah kehidupan yang pernah ia alami, sehingga sampailah Nabi saw. menjadikannya muadzin yang selalu berkhidmat mengumandangkan adzan. Setelah Nabi saw. wafat, ia tetap tinggal di Madinah Thayyibah. Namun ia tidak tahan melihat tempat Nabi saw. yang telah kosong, sehingga ia berniat untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk jihad, dan beberapa lama ia tidak kembali ke Madinah.

Pada suatu ketika, ia mimpi berjumpa dengan Nabi saw.. Nabi saw. berkata, "Wahai Bilal, betapa zhalimnya, sehingga kamu tidak menziarahiku?" Begitu bangun dari mimpinya, ia segera pergi menuju Madinah. Setibanya di sana, Hasan dan Husain ra. memintanya mengumandangkan adzan. la tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai adzan, terdengarlah suara adzan seperti di masa hidup Rasulullah saw.. Suara itu sangat menyentuh hati orang yang mendengarnya, sehingga para wanita keluar dari rumah-rumah mereka meneteskan air mata mendengarnya. la tinggal beberapa hari di Madinah, lalu kembali ke Damsyik, dan wafat pada tahun ke-20 Hijrah. (Asadul Ghobah)
Jalan Orang-Orang Ma'rifat

Jalan Orang-Orang Ma'rifat

Segala puji bagi Allah, Dzat Yang telah menerangi hati orang-­orang ma'rifat dengan berdzikir kepadaNya, menggerakkan lidah mereka dengan mensyukuri nikmatNya, dan memak­murkan organ-organ tubuh mereka dengan berkhidmah kepa­daNya. Mereka ini adalah taman surga manusia yang tempat gembalaan mereka Di kebun-kebun ahli ma'rifat itu, orang-orang menumpahkan cinta mereka. Allah selalu menyebut-nyebut me­reka dan mereka menyebut-nyebut Allah. Alalh mencintai me­reka dan mereka mencintai Allah. AJlah meridlai mPreka dan mereka ridla kepada Allah.

Modal ma'rifat mereka adalah kefakiran. Menejemen me­reka adalah getaran hati karena mengingat Allah. Ilmu mereka adalah obat penghapus dosa. Ma'rifat mereka adalah obat hati. Mereka adalah lampu-lampu yang memancarkan hujjah-hujjah Allah. Mereka adalah kunci. Kunci pembuka gudang-gudang hikmah Allah. Imam mereka adalah rembulan yang bersinar terang dan panglima mereka adalah cahaya, dan dia itu adalah junjungan seluruh umat manusia, yaitu Muhammad bin Abdul­lah bin Abdul Muththallib. Beliau adalah Rasul penutup, buah suci dari pohon yangdiberkati, yangpangkalnya adalah taubid dan cabang-cabangnya adalah taqwa.


"(Pohon itu) tumbuh tidak di sebelah timur juga tidak di sebelah barait yang minyaknya hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atus cahaya. Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang Dia kehen­daki. dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. '' (QS Al Nuur: 35).



"Barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka baginya tidak ada cahaya sedikit pun.'' (QS. Al Nuur: 10).

Shalawat Nabi menerangi langit dan bumi. Jejak-jejak ca­hayanya meninggi dan bersemayam dalam hati orang-orang yang suci. Shalawatnya mengharumkan dunia. menjadi kabar gembira bagi para Nabi. Shalawatnya juga menaungi keluarga­nya yang sud dan para sahabatnya yang disucikan.

Murid-murid Sufi
Mengawali untuk menjadi murid sufi, ia berkeliling di atas tiga prinsip utama, yaitu khauf, raja' dan hub (takut, harap, dan cinta). Khauf (takut) adalah cabang ilmu, rajak (berharap) adalah cabang keyakinan, sedang hub (cinta) adalah cabang ma'rifat. Bukti khauf adalah lari (dari dosa]. Bukti raja' adalah mencari (Allah). Dan bukti hub adalah memutlakkan atau meng­utamakan Dzat yang dicintai. Perumpamaan tiga hal itu adalah Masjidil Haram, masjid, dan Ka'bah. Barangsiapa masuk Mas­jidil Haram, ia pasti aman dari gangguan makhluk. Barangsiapa masuk masjid (masjid umum), tubuhnya harus dijaga dari melakukan maksiat. Barangsiapa masuk Ka'bah, maka hatinya aman dari mengingat selain Allah. Jika seorang hamba mene­tapi kebaikan ini, ia ditetapkan mampu memandang di kegelap­an malam dan di terangnya siang. Ia tahu jika salah satunya muncul, maka yang satu hilang. Jika gelapnya malam muncul, maka terangnya siang hilang. Jika cahaya siang naik, maka kege­lapan malam turun menghilang.

Demikian juga dengan cahaya ma'rifat. Jika cahaya ma'rifat bersinar, maka kegelapan maksiat menghilang dari peredaran tubuh. Jika suatu keadaan yang diridhainya mengondisikannya untuk menyongsong maut. ia bersyukur kepada Allah atas taufiq dan pemeliharaan Nya. Jika suatu keadaan yang dibencinya me­nguasainya dan maut bersamanya, ia beralih dari keadaan itu dengan keteguhan tekad dan kesempurnaan perjuangan. Ia tahu bahwa tidak ada tempat berlindung dari murka Allah kecuali kembali kepada Allah. Ia juga sadar bahwa tidak ada yang bisa mengantarkannya untuk sampai kepada Allah kecuali bersamaNya. Ia menyesal atas kesalahan-kesalahan yang per­nah diperbuatnya. Ia prihatin atas usianya yang pernah dipakai untuk berbuat dosa. Ia kembali dan memohon pertolongan ke­pada Allah agar menyucikan badan wadagnya dari dosa-dosa dan menjernihkan batinnya dari aib. Ia memutus senar nyanyi­an Iupa dari hatinya, memadamkan api yang membakar syah­watnya, berjalan lurus di atas titian kebenaran, dan mengenda­rai kendaraan kejujuran. Sesungguhnya siang adalah bukti ke­hidupan akhirat dan malam adalah bukti kehidupan dunia. Ti­dur adalah saksi kematian. Seorang hamba pasti mendatangi apa yang telah lewat dan menyesali apa yang telah berlalu.

"Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya." (QS. Al Qiyamah: 13). 
Peristiwa Penting Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Peristiwa Penting Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Kisah Sebelum Kelahiran Nabi Muhammad SAW

KISAH NABI MUHAMMAD SAW.
Agama Bangsa Arab Sebelum Islam. Bangsa Arab terbagi atas tiga bagian, Arab Baidah, Aaribah dan Musta 'ribah.
Arab Baidah adalah suku bangsa Arab yang telah punah. Yang termasuk golongan ini adalah kaum Aad, Tsamud, Jadiis dan Thasm, Amaaliqah, Amiim, Jurhum dan Jaasim. Mereka ini adalah suku-suku bangsa yang sudah tidak ada lagi.

Arab Aaribah adalah penduduk Yaman dan sekitarnya, yaitu suku Qahtan.

Arab Musta'ribah adalah penduduk Hijaz, Najd dan sekitarnya. Mereka ini adalah anak-anak Ismail putra Nabi Ibrahim as., yaitu bapak yang menurunkan Nabi Muhammad Saw. Mereka ini terdiri dari suku-suku yang banyak, dibagi lagi dalam anak-anak suku yang disebut Bathn dan Fakhadz, yang terbesar adalah Rabi'ah danMudlor dimana suku Quraisy berasal.

Suku Quraisy adalah suku tertinggi di antara Arab Musta'ribah. Merekalah yang merawat Kabah dan tugas ini menimbulkan kepemimpinan mereka atas Makkah.
Mereka pun memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki suku-suku lain di sekitarnya.
Pecahan-pecahan Quraisy adalah Bani Hasyim, Umayyah, Naufal, Abdud Daar, Asad, Taim, Makhzum, Adiy, Jamh, Salim.

Masing-masing suku ini mempunyai satu jabatan atau lebih dalam pemerintahan di Makkah.

Jabatan-jabatan dari suku Quraisy dan pecahan-pecahannya adalah:
  1.     As-Sadaanah, yaitu pekerjaan menutup Ka'bah dan membukanya bagi   orang-orang yang datang ke situ, disebut juga Al-Hijaabah.
  2.     As-Siqaayah, yaitu pekerjaan memberi minum orang-orang haji lantaran sedikitnya air di Makkah.
Maka yang mengurusi pekerjaan ini membuat wadah-wadah air dari kulit yang diletakkan di halaman Ka'bah.
Di situ ditempatkan air-air tawar dari sumur-sumur yang di angkut dengan unta-unta.
Demikianlah keadaan mereka hingga digali sumur Zamzam dan tugas memberi minum dilakukan oleh Bani Hasyim.
3.    Ar-Rifaadah, yaitu dana yang dikeluarkan oleh Quraisy dalam setiap mausim (pekan raya) dari harta mereka untuk dibuat makanan bagi orang-orang faqir dan tugas ini dilaksanakan oleh Bani Naufal, kemudian Bani Hasyim.
4.    Al-'Iqaab, yaitu nama.bendera Quraisy.
Bilamana mereka hendak perang, dikeluarkanlah bendera itu dan diserahkan kepada seorang di antara mereka yang sudah mereka sepakati bersama, atau kalau tidak maka diserahkan kepada pemegangnya, yaitu dari Bani Umayyah.
5.    An-Nadwah, yaitu sebuah bangunan yang didirikan oleh Quraisy di samping Ka'bah untuk bermusyawarah.
Di situ berkumpul pemuka-pemuka Quraisy untuk bermusyawarah dan tidak boleh seorang pun masuk ke situ, kecuali orang yang sudah berumur 40 tahun. Setiap perkawinan dilakukan di situ, demikian pula bendera perang, juga pemakaian cadar oleh seorang gadis Quraisy yang sudah baliq dilakukan di situ.
Darun Nadwah ini diurusi oleh Bani Abdid Daar.
6.    Al-Qiyaadah    dan Al-Masyurah.
Al-Qiyaadah ialah tugas memimpin rombongan, pelakunya berjalan di depan rombongan dalam perjalanan-perjalanan mereka, baik untuk berperang atau berdagang.
Tugas ini dijalankan oleh Bani Umayyah dan pelakunya di antara mereka pada permulaan Islam adalah Abu Sufyan bapak Muawiyah.

Adapun Al-Masyurah ialah tugas memberi nasihat dalam urusan-urusan penting. Tugas ini dijalankan oleh Bani Asad. Kaum Quraisy selalu mengemukakan urusannya kepada Bani Asad untuk

7.    Al-Qubbah dan Al-Hukumah.
AI-Qubbah adalah tempat di mana mereka mengumpulkan dan mempersiapkan pasukan, sedangkan Al-Hukumah ialah pemutusan perkara antara manusia bila terjadi sengketa antara sesama mereka atau dengan kata lain At-Tahkim.
8. As-Safaarah, yaitu tugas sebagai duta untuk melakukan perundingan perdamaian bila terjadi perang antara suku-suku.
Duta terakhir bangsa Quraisy di jaman Jahiliyah adalah Umar bin Khattab.

Pasar Ukkadh

Pasar Ukkadh terletak di dekat Thaif.
Ia adalah sebuah pasar di mana orang-orang berdatangan dari segenap penjuru dalam bulan-bulan Haram. Di situ mereka memasang kemah-kemah dan berjual beli serta bertukar barang.

Maka pasar ini menjadi tempat pertemuan musiman dari para ahli pidato dan penyair yang masing-masing memperlihatkan kebolehannya.

Tahun Gajah

Pada tahun ini datang pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah dari negeri Habasyah untuk merobohkan Kabah.

Maksud jahat mereka ini berhasil digagalkan dengan pertolongan Allah yang mengirimkam burung-burung Ababil, yang manjatuhkan batu-batu yang mengandung wabah penyakit dan menimpakannya atas pasukan Abrahah.

Peristiwa ini terjadi pada pertengahan abad ke 6 masehi.

Pada tahun ini pula dilahirkan nabi besar Muhammad Saw. sebagai nabi terakhir bagi umat manusia.
Selanjutnya simak tentang Kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kisahnya Al-Fuzail bin Iyaz

Kisahnya Al-Fuzail bin Iyaz

Abu 'Ali al-Fuzail bin ‘Iyaz at-Talaqani lahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih remaja, Fuzail adalah seorang penyamun. Setelah bertaubat, Fuzail pergi ke Kufah kemudian ke Mekkah, di mana ia tinggal beberapa tahun lamanya hingga wafatnya pada tahun 187 H/803 M. Nama Fuzail cukup terkenal sebagai seorang ahli Hadits,, dan keberaniannya mengkhotbah Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang.

TAUBATANNYA FUZAIL

Menyimak kisah Fuzail bagaikan membaca riwayat Raden Said atau Sunan Kalijaga. Sewaktu masih remaja, Fuzail mendirikan kemah di tengah-tengah padang pasir, yaitu di antara Merv dan Baward. Jubahnya terbuat dari bahan kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan di lehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fuzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan membawa hasil rampasan mereka kepada Fuzail karena ia adalah kepala mereka. Fuzail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan lebihan harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fuzail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka.

Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. Fuzail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas yang dimilikinya.

“Kantong emas ini akan kusembunyikan”, ia berkata di dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan".

Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaiannya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu yang sebenarnya adalah Fuzail si pemimpin rampok itu sendiri.

“Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku”, Fuzail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fuzail. Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fuzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fuzail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat Fuzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka.

“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang kepala rampok”, lelaki itu mengeluh.

Tetapi Fuzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri.

“Apakah yang engkau kehendaki”, lelaki itu bertanya kepada Fuzail.

“Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini”.

Lelaki itu segera berlari ke kemah Fuzail, mengambil kantong emas dan meninggalkan tempat itu.

Dengan keheran-heranan teman-teman Fuzail berkata: “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun di dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?” 
Fuzail menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula”.

Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fuzail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya: “Siapakah pemimpin kalian?”

Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu”. “Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, lelaki itu berkata.

“Ia sedang melakukan shalat sunnat”, salah seorang di antara pembegal-pembegal itu menjelaskan.

“Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kalian?”, lelaki itu melanjutkan.

“Ia sedang berpuasa”, jawab salah seorang. “Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?”

“Ia sedang berpuasa sunnat”.

Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fuzail yang sedang khusyuk di dalam shalatnya. Setelah selesai berkatalah ia kepada Fuzail:

“Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”.

“Apakah engkau memahami Al-Qur’an?”, Fuzail bertanya kepadanya.

“Ya”, jawab lelaki itu.

“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata: ‘Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukkan perbuatan -perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya? ’

Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa.

Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fuzail adalah seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya. Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fuzail. Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fuzail tertuju kepada perbuatan yang baik.

Pada awal petualangannya, Fuzail tergila-gila kepada seorang wanita. Fuzail selalu menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fuzail sering memanjat dinding rumah si wanita tanpa perduli keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara berbuat demikian, ia selalu menangis.

Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya itu, lewatlah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Terdengarlah oleh Fuzail ayat yang berbunyi: “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yawg percaya merendah untuk mengingat Allah?”

Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fuzail, seolah sebuah tantangan yang berseru kepadanya: “Wahai Fuzail, berapa lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!”

Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terlambat!”

Fuzail merasa bingung dan malu, la berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: “Marilah kita melanjutkan perjalanan”, tetapi salah seorang di antara mereka mencegah: “Tidak mungkin, Fuzail sedang, menanti dan akan menghadang kita”.

Mendengar pembicaraan mereka itu. Fuzail berseru: “Berita gembira! Fuzail telah bertaubat!”

Setelah berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membenci dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fuzail meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa seorang Yahudi di Baward. Fuzail meminta agar janji setia di antara mereka berdua dihapuskan namun si Yahudi tidak mau dibujuk.

“Sekarang kita dapat memperolok-olokkan pengikut Muhammad”, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambil tergelak-gelak.

‘Jika engkau menginginkan aku untuk menghapuskan janji setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu”, si Yahudi berkata kepada Fuzail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit itu tidak mungkin dapat dipindahkan oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang sangat lama. Fuzail yang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi sedikit, tetapi bagaimanakah tugas tersebut dapat diselesaikan?

Pada suatu pagi, ketika Fuzail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu telah menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub itu berkata kepada Fuzail:.

“Sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. Oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Dengan demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia di antara kita dapat dihapuskan”.

Fuzail masuk ke dalam rumah si orang Yahudi. Sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah ke bawah permadani itu. Tetapi ketika Fuzail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas ini diserahkannya kepada si orang Yahudi.

“Islamkanlah aku! si Yahudi berseru kepada Fuzail. Fuzail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim.

Kemudian si Yahudi berkata kepada Fuzail: “Tahukah engkau mengapa aku mau menjadi seorang Muslim? Hingga sesaat yang lalu aku masih ragu, yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat: ‘Jika seseorang benar-benar bertaubat, kemudian, menaruh tangannya ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas’. Sesungguhnya ke bawah permadani tadi telah kutaruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu, tahulah aku bahwa engkau benar-benar telah bertaubat dan bahwa agamamu adalah agama yang benar”.

Fuzail memohon kepada seseorang: ’’Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadiliku karena berbagai kejahatan yang pernah kulakukan. Orang itu memenuhi permohonan Fuzail. Fuzail diikat dan dibawa ke hadapan sultan. Ketika sultan melihat Fuzail, terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya. “Aku tidak dapat mengadilinya”, sultan berkata.

Kemudian ia memerintahkan agar Fuzail diantarkan pulang dengan segala hormatan. Ketika sampai di rumahnya Fuzail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras.

“Dengarlah Fuzail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa”, orang-orang berkata.

“Memang benar, aku sedang disiksa! “, Fuzail menjawab.

“Apakah yang dipukuli?”, mereka bertanya.

“Batinku!”, jawab Fuzail.

Kemudian Fuzail menjumpai isterinya. “Isteriku”, katanya, “aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan kubebaskan”.

Tetapi isterinya menjawab: “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Ke mana pun engkau pergi aku akan menyertaimu.”

Maka berangkatlah mereka ke Mekkah. Allah Yang Maha Kuasa telah menggampangkan perjalanan mereka. Di kota Mekkah mereka tinggal di dekat Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang-orang suci. Untuk beberapa lama Fuzail bergaul rapat dengan imam Abu Hanifah. Dan mengenai kekerasan disiplin diri Fuzail telah banyak kisah-kisah yang dituliskan orang. Di kota Mekkah ini terbukalah kesempatan bagi Fuzail untuk berkhotbah dan penduduk kota senantiasa berbondong-bondong untuk mendengarkan kata-katanya.

BERAMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Pada suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada Fazl:

“Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan”.

Fazl membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Shofyan al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut: “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum Muslimin” Jawab Fazl.

Shofyan berkata: “Mengapakah sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?”

Mendengar ucapan tersebut Harun ar-Rasyid berkata: “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya”.

Mendengar kata-kata sultan tersebut, Shofyan berkata:

“Jika demikian, Fuzail bin ‘Iyaz adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya”, kemudian Shofyan membacakan ayat: “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang saleh?”

Harun ar-Rasyid menimpali: “Seandainya aku menginginkan nasihat-nasihat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi”.

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dalam Fuzail bertanya: “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum Muslimin”, jawab Fazl.

“Apakah urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?”, tanya Fuzail.

“Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sela Fazl. . .

“Janganlah kalian menggangguku”, seru Fuzail. ' “Perlukah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah sultan?” tanya Fazl.

“Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan”, jawab Fuzail. “Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan.”

Harun ar-Rasyid melangkah masuk. Begitu Harun menghampirinya, Fuzail meniup lampu sehingga padam agar ia tidak dapat melihat wajah sultan. Harun ar-Rasyid mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fuzail yang kemudian berkata:

“Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!’’

Setelah berkata demikian Fuzail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya. “Katakanlah sesuatu kepadaku”, Harun bermohon kepada Fuzail:

Fuzail mengucapkan salam kepadanya dan berkata: “Leluhurmu, pamanda Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau: 'Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian ummat manusia'. Nabi menjawab: “Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri". Dengan jawaban ini yang dimaksudkan Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia. Kemudian Nabi menambahkan: “Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari berbangkit nanti’ “.

“Lanjutkanlah”; Harun ar-Rasyid meminta.”

“Ketika diangkat : menjadi khalifah, ‘Umar bin 'Abdul Aziz memanggil Salim bin ‘Abdullah, Raja' bin Hayat, dengan Muhammad bin Ka’ab. ‘Umar berkata kepada mereka: ‘Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia. Salah seorang di antara ketiga sahabat ‘Umar itu berkata: ‘Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang remaja sebagai saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai puteramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan puteranya’

“Lanjutkanlah! Harun ar-Rasyid meminta lagi.’

“Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka. Takutilah Allah dan taatilah perintah-perintah-Nva. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari Berbangkit nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanmu sehubungan dengan setiap Muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita 'uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Berbangkit nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu “.

Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasir Fazl menyentak Fuzail: .

“Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!” “Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku vang membunuhnya. Apakah vang kulakukan ini suatu pembunuhan?”

Mendengar kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyrd semakin menjadi-jadi.

“Ia menyebutmu Haman”, kata Harun ar-Rasyid sambil memandang Fazl, “Karena ia mempersamakan diriku dengan Fir’aun”.

Kemudian Harun bertanya kepada Fuzail: “Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dilunaskan?”.

“Ya”, jawab Fuzail, “Hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi hutang ini celakalah aku!”

“Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fuzail”, Harun menegaskan.

“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh-kesah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya”.

Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong yang berisi seribu dinar di hadapan Fuzail sambil berkata: “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku”.

Tetapi Fuzail mencela: “Wahai pemimpin kaum Muslimin, nasihat-nasihat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezhaliman”.

“Perbuatan salah apakah yang telah kulakukan?”, tanya Harun ar-Rasyid.

“Aku menyerumu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan? Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata”.

Setelah berkata demikian, Fuzail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar.

“Benar-benar seorang manusia hebat!” Harun ar-Rasyid berkata ketika ia meninggalkan rumah Fazail. “Sesungguhnya Fuzail adalah seorang raja bagi ummat manusia. Ia sangat blak-blakan dan dunia ini terlampau kecil dalam pandangannya.”
Perjalanan Rasulullah saw. Ke Thaif

Perjalanan Rasulullah saw. Ke Thaif

Selama sembilan tahun sejak kerasulannya, Nabi Muhammad saw. telah berusaha menyampaikan ajaran Islam dan membawa hidayah untuk memperbaiki kaumnya di Makkah, namun sangat sedikit yang menerima ajakan beliau, kecuali mereka yang sejak awal telah masuk Islam. Selain mereka, ada yang belum masuk Islam, tetapi siap membantu Rasulullah saw.. Dan sebagian besar kafirin Makkah selalu menyakiti beliau dan para sahabatnya. Abu Thalib termasuk orang yang belum memeluk Islam, namun hatinya sangat mencintai Rasulullah saw., ia akan melakukan apapun yang dapat menolong Nabi saw..
Pada tahun kesepuluh kenabian, ketika Abu Thalib meninggal dunia, kaum kuffar bertambah kesempatan untuk mencegah perkembangan Islam, dan menyakiti kaum muslimin.

Atas hal ini, Rasulullah saw. pergi ke Thaif. Di sana ada suatu kabilah bernama Tsaqif, yang sangat banyak anggotanya. Beliau saw. berpendapat, jika mereka memeluk Islam, maka kaum muslimin akan terbebas dari siksaan kaum kafirin, dan akan menjadikan kota itu sebagai pusat penyebaran Islam. Setibanya di Thaif, Nabi saw. langsung menemui tiga orang pemuka masyarakat dan berbicara dengan mereka, mengajaknya kepada Islam, juga mengajak mereka untuk ikut membantu penyebaran agama ini. Namun, mereka bukan saja menolak, adat bangsa Arab yang terkenal dengan penghormatan terhadap tamu pun tidak mereka lakukan.

Mereka menerima beliau dengan perilaku yang sangat buruk. Mereka menunjukkan rasa tidak suka dengan kedatangan Nabi saw.

Pada mulanya beliau berharap kedatangannya kepada tokoh masyarakat itu, akan disambut baik dan sopan. Tetapi sebaliknya, seseorang dari mereka ada yang berkata, "Oh, kamukah yang dipilih oleh Allah sebagai Nabi-Nya?" Yang lainnya berkata, "Apakah tidak ada orang selainmu yang lebih pantas dipilih oleh Allah sebagai Nabi?" Yang ketiganya berkata, "Saya tidak mau berbicara denganmu, karena jika kamu memang benar seorang Nabi seperti yang kamu akui, dan kemudian aku menolakmu, tentu akan mendatangkan bencana. Dan jika kamu berbohong, maka tiada gunanya berbicara denganmu. "

Setelah menemui mereka yang sulit diharapkan itu, Nabi saw. pun berharap agar dapat berbicara dengan selain mereka. Inilah sifat Nabi saw. yang selalu bersungguh-sungguh, teguh pendirian, dan tidak mudah putus asa. Ternyata, tidak satu pun diantara mereka yang mau menerimanya. Bahkan mereka membentak Rasulullah saw., "Keluarlah kamu dari kampung ini! Pergilah kemana saja yang kamu suka!"

Ketika Nabi saw. sudah tidak dapat mengharapkan mereka, dan bersiap-siap akan meninggalkan mereka, mereka telah menyuruh para pemuda kota agar mengikuti Nabi saw., lalu mengganggu, mencaci, serta melempari beliau dengan batu, sehingga sandal beliau penuh dengan darah. Dalam keadaan seperti inilah Rasulullah saw. meninggalkan Thaif. Ketika pulang, Rasulullah saw. menjumpai suatu tempat yang dianggap aman dari kejahatan mereka. Beliau saw. berdoa kepada Allah swt.

"Ya Allah, aku  mengadukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai yang Maha Rahim dari sekalian rahimin, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang merasa lemah, dan Engkaulah Tuhanku, kepada siapakah Engkau serahkan diriku. Kepada musuh yang akan menguasaiku, atau kepada keluargaku yang Engkau berikan segala urusanku, tiada suatu keberatan asalkan tetap dalam ridha-Mu. Afiat-Mu lebih berharga bagiku. Aku berlindung kepada-Mu dengan nur wajah-Mu, yang menyinari segala kegelapan, dan yang membaguskan urusan dunia dan akherat, Dari turunnya murka-Mu atasku atau turunnya adzab-Mu atasku. Kepada Engkaulah kuadukan keadaanku, hingga Engkau ridha. Tiada daya dan upaya melainkan dengan-Mu."

Demikian sedih doa Nabi saw., sehingga Jibril as. datang, memberi salam kepada beliau dan berkata, "Allah swt. telah mendengar perbincanganmu dengan kaummu, dan Allah pun mendengar jawaban mereka, dan Dia telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung agar siap melaksanakan apapun perintahmu kepadanya." Malaikat itu pun datang, dan memberi salam kepada Nabi saw., seraya berkata, "Apapun yang engkau perintahkan, akan kulaksanakan. Bila engkau suka, akan kubenturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapapun yang tinggal diantara keduanya akan mati terhimpit. Jika tidak, apapun hukuman yang engkau inginkan, aku siap melaksanakannya." Rasulullah saw. yang bersifat kasih dan mulia ini menjawab, "Saya hanya berharap kepada Allah swt., andaikan pada saat ini, mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan keturunan mereka kelak akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah."

Hikmah :
Demikianlah akhlak seorang Nabi yang mulia. Kita mengaku bahwa diri kita adalah pengikutnya, namun ketika kita ditimpa sedikit kesulitan, kita akan mencela, bahkan menuntut balas. Kezhaliman dibalas dengan kezhaliman, sambil terus mengaku bahwa kita adalah umat Nabi saw.. Padahal dengan pengakuan itu, seharusnya segala tingkah laku kita mengikuti beliau. Nabi saw. pun, jika mendapat kesulitan dari orang lain, beliau tidak pernah mendoakan keburukan, juga tidak pernah ingin menuntut balas.
Tausiah: Keimanan Yang Kuat Kepada-Nya

Tausiah: Keimanan Yang Kuat Kepada-Nya

Apabila dunia dan orang-orangnya memalingkan muka mereka yang hina, lapar, dahaga, yang telanjang, hatinya terpanggang, merambah ke setiap sudut dunia, di tempat-tempat sunyi, di masjid yang jemu dan kecewa, dan sebagainya, janganlah engkau berkata bahwa Allah telah membuatmu miskin, menjauhkan dunia darimu, menjatuhkanmu, menjadi musuhmu dan membuatmu kacau. Jangan engkau menganggap bahwa Allah telah menghinamu, tidak memberi kecukupan duniamu. Jangan pula menganggap Dia menyuramkan kehidupanmu. Jangan iri kepada mereka yang siang malam mendapat nikmat dan anugerah-Nya. Jangan beranggapan sebagai sama-sama muslim, tetapi Allah tidak adil.

Wahai orang yang malang! Sesungguhnya Allah memperlakukanmu seperti ini karena fitrahmu suci dan kesejukan kasih sayang-Nya yang terus-menerus melimpah kepadamu dalam bentuk kesabaran, sikap berserah diri, ikhlas, dan berpengetahuan. Kemudian dalam keadaan yang papa di dunia, ternyata engkau mendapatkan cahaya iman dan tauhid.

Dengan demikian, sesungguhnya pohon keimananmu mempunyai akar yang kuat, memiliki benih yang kuat, penuh dedaunan, buah, cabang, dan rantingnya lebat, sehingga menimbulkan keteduhan. Setiap saat bertambah besar, tak perlu lagi dibantu atau dipupuk.

Cahaya iman dan tauhid, pepohonan iman dan tauhid itu, ditentukan oleh Allah bagimu dan kelak kau dapatkan tepat pada waktunya, entah engkau menyukai atau tidak. Oleh sebab itu, janganlah serakah terhadap sesuatu yang menjadi milikmu dan jangan pula mencemaskannya. Janganlah menyesal atas bagian yang diberikan kepada orang lain. Ada dua alternatif yang bukan menjadi milikmu, yaitu ia akan menjadi milikmu atau dapat juga menjadi hak orang lain. Apabila ia memang milikmu, ia akan datang kepadamu dan kau akan dibawa kepadanya sehingga pertemuan antara engkau dan milikmu akan segera terwujud. Adapun yang bukan milikmu engkau akan dijauhkan darinya dan ia pun menjauhimu. Dengan demikian, engkau dan ia (yang bukan milikmu) tak akan dapat bersama. Allah SWT. berfirman:



Artinya:
"Janganlah engkau layangkan kedua matamu kepada (perhiasan) yang Kami berikan kepada bermacam-macam orang di antara mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia, untuk itu Kami cobai mereka dengannya. Dan rezeki Tuhanmu dalam Surga lebih baik dan lebih kekal."
(Q.S. Thaha [20]: 131)

Dari ayat tersebut, jelaslah bagimu bahwa Allah SWT., melarangmu untuk memerhatikan yang bukan hakmu. Dia telah memberi peringatan bahwa yang selain ini adalah cobaan. Dengan cobaan itu, Dia memberi ujian kepadamu, sedangkan keikhlasanmu menerima bagianmu itu lebih baik bagimu, lebih suci, dan lebih disukai.

Oleh sebab itu, hal-hal yang demikian itu hendaknya engkau jadikan sebagai pedoman menempuh jalan Allah SWT. untuk mendapatkan kebaikan, rahmat, kegembiraan, dan keindahan. Allah SWT. telah berfirman:


Artinya:
"Seseorang tidak mengetahui, apa yang disembunyikan untuknya di antara bermacam-macam kesenangan, sebagai balasan yang telah mereka amalkan." (Q.S. As-Sajdah [32]: 17)

Oleh sebab itulah, satu-satunya kebaikan ialah kelima jalan pengabdian, penghindaran dari dosa, dan tak ada yang lebih besar dan lebih disukai Allah, selain yang telah kusebutkan kepadamu. Semoga Allah SWT. memberi karunia kepadamu dan kepadaku berupa kemampuan untuk melakukan yang disukai-Nya.
Riwayat Rabi'ah Al Adawiyah

Riwayat Rabi'ah Al Adawiyah

Tokoh sufi wanita yang sangat terkenal di seluruh dunia karena kesuciannya ini adalah Rabi’ah binti Ismail Al Adawiyah. Ia berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil tinggal di kota Bashrah. Dia sangat dihormati oleh orang-orana shaleh yang hidup pada masa itu. Seumur hidupnya ia tidak pernah menikah. Jiwa raganya hanya untuk Yang dicintainya yaitu Allah.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorana yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak setetes pun untuk memoles pusar puterinya itu.

Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabiah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya ia dinamakan Rabi’ah.

“Pergilah kepada tetangga kita si Fulan dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat menyalakan lampu,” istrinya berkata kepadanya. Tetapi si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu apa pun dari manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangganya lalu kembali lagi ke rumahnya.
 “Mereka tidak mau membukakan pintu,” si suami melaporkan kepada istrinya sesampainya di rumah.

Istrinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala keatas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi.

Nabi membujuknya, “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku.”

Kemudian Nabi meneruskan, “Besok pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at dan engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaiamnu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal.”

Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mencucurkan air mata. Ia bangkit dan menuliskan surat seperti yang dipesankan oleh Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada Gubernur melalui pengurus rumah tangga istana.

“Berikan dua ribu dinar kepada orang-orang miskin,” Gubernur memberikan perintah setelah membaca surat tersebut.” Sebagai tanda syukur kepada Nabi yang masih mengingatku. Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si Syaikh (ayah Rabi’ah) dan katakan kepadanya: Aku harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah pantas bagi seorang seperti engkau untuk datang menghadapku. Lebih baik seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini. Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau butuhkan katakanlah padaku.”

Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan membeli sesuatu yang dianggap perlu.

Ketika Rabi’ah menanjak besar, sedang ayah bundanya telah meninggal dunia, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Ia terpisah dari kakak-kakak perempuannya. Suatu hari ketika Rabi’ah keluar rumah, ia terlihat oleh seorang penjahat yang segera menangkapnya kemudian menjualnya dengan harga enam dirham. Orang yang membeli dirinya menyuruh Rabi’ah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.

Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan, seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ ah melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir sehingga tangannya terkilir.

Ia menangis sambil mengantuk-antukkan kepalanya ke tanah: “Ya Allah, aku adalah orang asing di negeri ini, tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendak-Mu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.”

“Rabi’ah, janganlah Engkau berduka,” sebuah suara berkata kepadanya. "Esok lusa engkau akan dimuliakan sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu.”

Rabi’ah kembali ke rumah majikannya. Di siaga hari ia berpuasa dan mengabdi kepada Allah, sedang di malam hari ia berdo’a kepada Allah sambil terus berdiri sepanjang malam.

Pada suatu malam majikannya terjaga dari tidur, dan lewat jendela terlihat olehnya Rabi’ah sedang bersujud dan berdo’a kepada Allah. “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku hanyalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu, dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.” Demikianlah kata-kata yana terucap dalam do’a Rabi’ah.

Sepasang mata si majikan terbelalak lebar, bukan hanya karena mendengar do’a Rabi’ah. Tapi karena ia melihat suatu keajaiban. Sebuah lentera/lampu tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah sementara cahaya lentera itu menerangi seluruh ramah. Menyaksikan hal ini si majikan merasa takut. Ia segera beranjak ke kamar tidurnya dan duduk merenung hingga fajar tiba. Ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah, bersikap lembut kepadanya kemudian membebaskannya.

Rabi’ah berkata,” Izinkanlah aku pergi.”

Majikannya memberi izin. Rabi’ah lalu berangkat ke padang pasir. Menempuh perjalanan jauh menuju tempat sepi untuk berkhalwat mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah dengan tekun melaksanakan ibadah. Beberapa lama kemudian ia berniat hendak menunaikan ibadah haji. Maka berangkatlah ia menempuh padang pasir kembali. Barang perbekalannya di buntal di atas punggung keledai. Ia berangkat bersama rombongan. Tetapi begitu sampai di tengah-tengah padang pasir keledai itu mati.

“Biarlah kami yang membawa barang-barangmu,” kata lelaki-lelaki di dalam rombongan itu menawarkan jasa mereka.

“Tidak, teruskanlah perjalanan kalian,” kata Rabi'ah.” Bukan tujuanku untuk menjadi beban kalian.”

Rombongan itu meneruskan perjalanan dan meninggalkan Rabi'ah seorang diri.

“Ya Allah,” Rabi'ah berseru sambil menengadahkan kepala. “Beginikah caranya raja-raja memperlakukan seorana wanita yang tak berdaya di tempat yang masih asing baginya? Engkau telah memanggilku ke rumah-Mu, tetapi di tengah perjalanan Engkau membunuh keledaiku dan meninggalkanku sebatang kara di tengah-tengah padang pasir ini.”

Belum lagi Rabi'ah selesai mengucapkan kata-kata ini, tanpa diduga keledai itu hidup lagi dan bergerak berdiri. Rabi'ah meletakkan barang-barang ke atas punggung binatang itu dan melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari lamanya Rabi’ah meneruskan perjalananya menempuh padang pasir, sebelum ia berhenti ia berseru kepada Allah: “Ya, Allah aku sudah letih. Ke arah manakah yang harus kutuju? Aku ini hanyalah segumpal tanah sedang rumah-Mu terbuat dari batu. Ya, Allah aku bermohon kepada-Mu, tunjukkanlah diri-Mu.”

Allah berfirman kepada hati sanubari Rabi’ah: “Rabi’ah Engkau sedang berada di atas sumber kehidupan delapan belas ribu dunia. Tidakkah engkau ingat betapa Musa telah bermohon untuk melihat-Ku dan gunung-gunung terpecah-pecah menjadi empat puluh keping. Karena itu merasa cukuplah engkau dengan nama-Ku saja!”

DILINDUNGI SAHABATNYA

Pada suatu malam ketika Rabi’ah sedang shalat di suatu tempat sunyi (pertapaan kaum sufi), ia merasa sangat letih sehing jatuh tertidur. Demikian nyenyaknya ia tidur sehingga ketika matanya berdarah tertusuk ilalang dari tikar yang ditidurinya, ia sama sekali tidak menyadarinya.

Seorang maling masuk menyelinap ke dalam pertapaan itu. dan mengambil cadar Rabi’ah. Namun ketika ia hendak menyingkir dari tempat itu ia tak menemukan jalan keluar, semua jalan keluar telah tertutup. Lalu dilepaskannya cadar itu dan ditinggalkannya tempat itu. secara aneh tiba-tiba jalan keluar telah terbuka kembali. Maling itu kesenangan segera diambilnya lagi cadar Rabi’ah. Namun begitu ia hendak keluar, lagi-lagi jalan keluar telah tertutup lagi. Sekali lagi dilepaskannya cadar itu. Tujuh kali perbuatan serupa itu dilakukannya. Kemudian terdengarlah olehnya sebuah suara dari pojok pertapaan itu.

“Hai manusia, tiada gunanya engkau mencoba-coba. Sudah bertahun-tahun Rabi’ah mengabdi kepada Kami. Syaitan sendiri tidak berani datang menghampirinya. Tetapi betapakah seorang maling memiliki keberanian hendak mencuri cadarnya? Pergilah dari sini hai manusia jahanam! Tiada gunanya engkau mencoba-coba lagi. Jika seorang sahabat sedang tertidur maka Sang Sahabat bangun berjaga-jaga.”

JANJI TUHAN PASTI DITEPATI

Dua orang tokoh agama datang mengunjungi Rabi’ah dan keduanya merasa lapar. '‘Mudah-mudahan Rabi’ah menyuguhkan makanan kepada kita,” kata mereka. “Makanan yang disuguhkan pastilah diperoleh secara halal.”

Ketika mereka duduk, di hadapan mereka terhampar serbet di atasnya ada dua potong roti. Melihat hal ini mereka sangat Gembira. Tetapi pada saat itu juga ada seorang pengemis datang dan Rabi’ah memberikan kedua roti itu kepadanya. Kedua tokoh agama itu sangat kecewa, namun mereka tidak berani berkata apa-apa. Tak berapa lama kemudian masuklah seorang pelayan wanita membawelkan beberapa buah roti yang masih panas.

“Majikanku menyuruhku untuk mengantarkan roti-roti ini kepadamu,” kata si pelayan.

Rabi’ah menghitung roti-roti kesemuanya ada delapan belas buah.

"Mungkin roti-roti ini bukan untukku.” kata Rabi’ah.

Si pelayan berusaha meyakinkan Rabi’ah namun percuma saja. Akhirnya roti-roti itu dibawanya kembali. Pelayan itu menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyangka Rabi’ah tidak mengetahui perbuatannya bahwa ia telah mengambil dua potong roti untuk dirinya sendiri sehingga roti yang berjumlah dua puluh itu tinggal delapan belas. Maka ia segera meminta dua potong roti lagi kepada majikannya dan kembali lagi ke tempat Rabi’ah. Roti-roti itu dihitung oleh Rabi’ah. Ternyata jumlahnya genap dua puluh buah. Barulah Rabi’ah mau menerimanya.

“Roti-roti ini memang telah dikirimkan majikanmu untukku.” kata Rabi’ah.

Kemudian Rabi’ah menyuguhkan foti-roti tersebut kepada kedua . tamunya tadi. Keduanya makan namun masih dalam keadaan terheran-heran.

“Apakah Tahasia di balik semua ini?” mereka bertanya kepada Rabi’ah. “Kami ingin memakan rotimu sendiri tapi engkau malah memberikannya kepada seorang pengemis. Kemudian engkau mengatakan kepada pelayan tadi bahwa kedelapan belas roti itu bukanlah diberikan untukmu. Tetapi ketika semuanya berjumlah dua puluh engkau baru menerimanya?”

Rabi’ah menjawab, “Sewaktu kalian datang, aku tahu bahwa kalian sedang lapar. Aku berkata kepada diriku sendiri, betapa aku tega untuk menyuguhkan dua potong roti kepada dua orang pemuka agama yang terhormat? Itulah sebabnya mengapa ketika si pengemis itu datang aku segera memberikan dua potong roti itu kepadanya dan aku berkata kepada Allah Yang Mahabesar,’ Ya Allah, Engkau telah berjanji bahwa Enakau akan memberikan ganjaran sepuluh kali lipat dan janji-Mu itu kupegang teguh. Kini telah kusedekahkan dua potong roti untuk menyenangkan hati-Mu, semoga Enakau berkenan untuk memberikan dua puluh potong roti sebagai imbalannya. Ketika delapan belas roti itu diantarkan kepadaku, tahulah aku bahwa sebagian dari jumlah roti itu telah dicuri atau roti-roti itu bukan untuk disampaikan kepadaku.”

ZUHUD
Ia adalah wanita yang wara’. Selalu berhati-hati. Tak mau sedikit pun perutnya terisi oleh barang haram. Pada suatu hari pelayan wanita Rabi’ ah hendak memasak sup bawang karena telah beberapa lamanya meieka tidak memasak makanan. Ternyata mereka tidak mempunyai bawang.

Si pelayan berkata kepada Rabi’ah,” Aku hendak meminta bawang kepada tetangga sebelah.”

Tetapi buru-buru Rabi’ah mencegah, “Telah empat puluh tahun aku beijanji kepada Allah tidak akan meminta sesuatu pun kecuali kepadaNya. Lupakanlah bawang itu.”

Hanya beberapa saat setelah Rabi’ah berkata demikian, seekor burung meluncur di angkasa, membawa bawang yang telah terkupas diparuhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam belanga.

Menyaksikan peristiwa ini Rabi’ah berkata,” Aku takut jika semua ini adalah semacam tipu muslihat.”

Rabi’ah sama sekali tidak mau menyentuh sup bawang tersebut. Hanya roti sajalah yang dimakannya.

MENCACI DUNIA
Seorang cendekia terkemuka di kota Bashrah mengunjungi Rabi’ah yang sedang sakit. Sambil duduk di sisi tempat tidur Rabi’ah, cendekia itu mencaci maki dunia.

Tanpa ragu Rabi’ah berkata kepadanya, “Sesunguhnya engkau sangat mencintai dunia ini. Jika engkau tidak mencintai dunia tentu engkau tidak menyebut-nyebutnya berulang kali seperti ini. Seorang pembelilah yang senantiasa mencela barang-barang yang hendak dibelinya. Jika engkau tidak merasa berkepentingan dengan dunia ini tentulah engkau tidak akan memuji.-muji atau memburuk-burukkannya. Engkau menyebut-nyebut dunia ini seperti kata sebuah peribahasa: barangsiapa mencintai sesuatu hal maka ia sering menyebut-nyebutnya.”

PENYAYANG B1NANTANG

Pada suatu hari Rabi’ah berjalan ke atas gunung. Segera saja ia dikerumuni oleh kawanan rusa, kambing hutan, ibeks (sebangsa kambing hutan yang bertanduk panjang) dan keledai-keladai liar. Binatan-binatang ini menatap Rabi'ah dan hendak menahampirinya. Tanpa disangka-sangka Hasan Basbri datang pula ke tempat itu. Begitu melihat Rabi'ah , Hasan segera menghampirinya. Tapi begitu melihat kedatangan Hasan sekawanan binatang itu lari tunggang langgang ketakutan meninggalkan Rabi'ah. Hal ini membuat Hasan jadi kecewa.

“ Mengapa binatang-binatang itu menghampiri diriku, sedang mereka begitu jinak terhadapmu?” Hasan bertanya kepada Rabi'ah. Rabi'ah balik bertanya,” Apakah yang telah engkau makan pada hari ini?'

“Sup bawang!” jawab Hasan.

“Enakau telah memakan lemak binatang-binatang itu. Tidak mengherankan jika mereka lari ketakutan melihatmu.'’

BUKAN UNTUK KESOMBONGAN

Pada hari yang lain ketika Rabi'ah lewat di depan Hasan. Saat itu Hasan termenung di jendela. Ia sedang menangis dan air matanya menetes jatuh mengenai pakaian Rabi'ah. Mula-mula Rabi'ah mengira hujan deras, tetapi setelah menengadah ke atas dan melihat Hasan. sadarlah ia bahwa yang jatuh menetes itu adalah air mata Hasan.

“Guru,menangis adalah pertanda dari kelesuan batin,” ia berkata kepada Hasan. “Tahanlah air matamu. Jika tidak, di dalam dirimu akan menggelora samudera sehingga engkau tidak dapat mencari dirimu sendiri kecuali pada seorang Raja Yang Mahaperkasa.”

Teguran itu tidak enak di telinga Hasan, namun ia tetap menahan diri. Di belakang hari ia bertemu Rabi'ah di tepi sebuah danau. Hasan menghamparkan sajadah di atas air dan berkata kepada Rabi’ah.

“Rabiah, marilah kita melakukan shalat sunnat dua rakaat diatas

air.”

Rabi’ah menjawab, “Hasan, jika engkau mempertontonkan karomah-karomahmu di tempat ramai ini, maka karomah-karomah itu haruslah yang tak dimiliki oleh orang-orang lain.”

Sesudah berkata demikian Rabi’ah melemparkan sajadahnya keudara. Kemudian ia melompat ke atasnya. Demikianlah jika Hasan Bashri bisa shalat di atas air tanpa menjadi basah, maka Rabi’ah malah bisa shalat di atas udara seakan bisa terbang. Rabi'ah kemudian berkata kepada Hasan :

“Naiklah kemari Hasan agar orang-orang dapat menyaksikan kita.” Hasan yang belum mencapai tingkat seperti itu tidak dapat berkata apa-apa.

Kemudian Rabi'ah mencoba menghiburnya dan berkata, “Hasan, yang engkau lakukan tadi dapat dilakukan oleh seekor ikan dan yang kulakukan tadi dapat dilakukan oleh seekor lalat. Yang terpenting bukanlah keahlian-keahlian seperti itu. Kita harus mengabdikan diri kepada Hal-hal YangTerpenting itu.”

MELEPAS DUNIA

Rabi’ah berpuasa seminggu penuh. Selama berpuasa itu ia tidak makan dan tidur. Setiap malam ia tekun melaksanakan shalat dan berdo’a. Lapar yang dirasakannya sudah tidak tertahankan lagi. Seorang tamu masuk ke dalam rumah Rabi’ah membawa semangkuk makanan. Rabi’ah menerima makanan itu. Kemudian ia pergi mengambil lampu. Ketika ia kembali ternyata seekor kucing telah menumpahkan isi mangkuk itu.

“Aku akan "mengambil kendi air dan aku akan berbuka puasa,” Rabi’ah berkata.

Ketika ia kembali dengan sekendi air ternyata lampu telah padam. Ia hendak meminum air kendi itu di dalam kegelapan, tetapi kendi itu terlepas dari tangannya dan jatuh, pecah berantakan. Rabi’ab meratap dan mengeluh sedemikian menyayat hati seolah-olah sebagian rumahnya telah dimakan api.

Rabi’ah menangis, “Ya Allah, apakah yang telah Engkau perbuat terhadap hamba-Mu yang tak berdaya lagi ini?”

“Berhati-hatilah Rabi’ah,” sebuah suara terdengar di telinganya. “Janganlah engkau sampai mengharapkan bahwa Aku akan menganugerahkan semua kenikmatan dunia kepadamu sehingga pengabdianmu kepada-Ku terhapus dari dalam hatimu. Pengabdian kepada-Ku dan kenikmatan-kenikmatan dunia tidak dapat dipadukan di dalam satu hati.”

Setelah mendengar celaan ini Rabi’ah mengisahkan.”Aku lepaskan hatiku dari dunia dan kubuang segala hasrat dari dalam hatiku sehingga selama tiga puluh tahun terakhir ini, apabila melakukan shalat maka aku menganggapnya sebagai shalatku yang terakhir.”

MENCOBA MENGHINA BALIK TERHINA

Beberapa orang mengunjungi Rabi’ah untuk menguji manusia suci ini. Mereka ingin memergoki Rabi’ah mengucapkan kata-kata yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu.

“Segala macam kebajikan telah dibagi-bagikan kepada kepala kaum lelaki,” mereka berkata. “Mahkota kenabian telah ditaruh di kepala kaum lelaki. Sabuk kebangsawanan telah diikatkan di pinggang kaum lelaki. Tidak ada seorang perempuan pun yang telah diangkat Allah menjadi Nabi.”

“Semua itu memang benar,” jawab Rabi’ah. “Tetapi kesombongan diri, memuja diri sendiri dan ucapan' Bukankah aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi' ? tidak pernah membersit di dalam dada seorang perempuan. Dan tak ada seorangpun wanita yang banci. Semua itu adalah bagian kaum lelaki.”

Orang-orang yang bermaksud melecehkan itu sekarang balik merasa sangat malu pada dirinya sendiri.

DI KALA SAKIT.

Ketika Rabi’ah menderita sakit yang gawat. Ia ditanya apakah penyebab sakitnya yana dideritanya itu.

“Aku telah menatap surga,” kata Rabi’ah.” Dan Allah telah menghukum diriku.”

Kemudian Hasan Bashri datang mengunjungi Rabi’ah.

Hasan mendapatkan salah seorang dari pemuka-pemuka kota Bashrah berdiri di pintu pertapaan Rabi’ah. Ia hendak memberikan sekantong emas kepada Rabi’ah dan ia menangis. Hasan bertanya kepada mereka. “Mengapa enakau menangis?”

“Aku menangis karena wanita suci zaman ini,” jawabnya. “Karena jika kehadirannya tidak ada lagi, celakalah ummat manusia. Aku telah membawakan uang sekedar untuk biaya perawatannya. Tetapi aku kuatir kalau-kalau Rabi’ah tidak mau menerimanya. Bujuklah Rabi’ah agar ia mau menerima uang ini.”

Maka masuklah Hasan ke dalam pertapaan Rabi’ah dan membujuknya untuk menerima uang itu. Rabi’ah menatap Hasan dan berkata, “Dia telah menafkahi orang-orang yang menghujjah-Nya. Apakah Dia tidak akan menafkahu orana-orang yang mencintai-Nya. Sejak aku mengenal-Nya aku telah berpaling dari manusia ciptaan-Nya. Aku tidak tahu apakah kekayaan orang itu halal atau tidak, maka betapakah aku dapat menerima pemberiannya? Pernah aku menjahit pakaian yang robek dengan diterangi lampu dunia. Beberapa saat hatiku lengah tetapi akhirnya akupun sadar. Pakaian itu kurobek kembali pada bagian-bagian yang telah kujahit itu dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepadanya agar ia tidak membuatku lengah lagi.”

Abdul Walud Amir dan Sofyan Ats Tsauri mengunjungi Rabi’ah ketika sakit. Tetapi karena keduanya merasa segan mereka tidak berani menegurnya atau menyapa Rabi’ah.

“Engkaulah yang berkata,” kata Abdul Wahid kepada Sofyan. Sofyan kemudian berkata kepada Rabi’ah, ” Jika engkau berdo’a. Niscaya penderitaanmu ini akan hilang.”

Rabi’ah menjawab,” Tidak tabukah engkau siapa yang menghendaki aku menderita seperti ini? Bukankah Allah?”

“Ya,” Sofyan membenarkan.

“Betapa mungkin engkau mengetahui hal ini, menyuruhku untuk memohonkan hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Bukankah tidak baik apabila kita menentang Sahabat kita sendiri?”

“Apakah yang engkau inginkan Rabi’ah?” Sofyan bertanya pula. “Sofyan,engkau adalah seorang terpelajar! Tetapi mengapa engkau bertanya pula 'Apakah yang aku inginkan? Demi kebesaran Allah." Rabi’ah berkata tandas, “telah dua belas tahun lamanya aku menginginkan buah korma segar. Engkau tentu tahu bahwa di kota Bashrah buah korma sangat murah harganya, tetapi hingga saat ini aku tidak pernah memakannya. Aku ini hanyalah hamba-Nya dan apakah hak seorang hamba untuk menginginkan segala sesuatu. Jika aku menginginkan sesuatu sedang Allah tidak menginginkannya, maka kafirlah aku. Engkau harus menginginkan sesuatu yang diinginkan-Nya semata-mata agar engkau dapat menjadi hamba-Nya yang sejati. Tetapi lain lagi persoalannya jika Tuhan sendiri memberikannya.”

Shofyan terdiam. Kemudian ia berkata kepada Rabi'ah: “Karena aku tak dapat berbicara mengenai dirimu, maka engkaulah yana berbicara mengenai diriku.”

“Engkau adalah manusia yang baik kecuali dalam satu hal: enakau mencintai dunia. Engkau pun suka membacakan hadits-hadits.” Yang terakhir ini dikatakan Rabi’ah dengan maksud bahwa membacakan hadits-hadits tersebut adalah suatu perbuatan mulia.

Shofyan sangat tergugah hatinya dan berseru: “Ya Allah, kasihilah aku.”

Tetapi Rabi’ah mencela,’’Tidak malukah engkau mengharapkan Allah sedangkan engkau sendiri tidak menghasihi-Nya?”

Pada suatu ketika Malik bin Dinar mengunjungi Rabi’ah. Dia menyaksikan Rabi’ah menggunakan gayung pecah untuk minum dan bersuci, sebuah tikar dan sebuah batu bata yang kadang-kadang dipergunakannya sebagai bantal. Menyaksikan semua itu hati Malik bin Dinar menjadi sedih.

“Aku mempunyai teman-teman yang kaya.” kata Malik. “Jika engkau menghendaki sesuatu akan kumintakan kepada mereka.”

“Malik, engkau telah melakukan kesalahan yang besar,” jawab Rabi’ah. “Bukankah yang menafkahi aku dan yang menafkahi mereka adalah satu.”

“Ya,’’jawab Malik.

“Apakah yang menafkafi orang-orang miskin itu lupa kepada orang-orang miskin karena kemiskinan mereka? Dan apakah Dia ingat kepada orang-orang kaya karena kekayaan mereka? “tanya Rabi’ah.

“Tidak!” jawab Malik.

“Jadi/’ Rabi’ah meneruskan. “Karena dia mengetahui keadaanku, bagaimana akii harus mengingat-Nya'? Beginilah yang dikehendaki-Nya, dan aku menghendaki seperti yang dikehendaki-Nya.”

RABI'AH MENINGGAL DUNIA

Ketika tiba saatnya Rabi'ah harus meninggalkan dunia ini. Orang-orang yang menungguinya meninggalkan kamarnya dan menutup pintu kamar itu dari luar. Setelah itu mereka mendengar suara yang berkata.” Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan berbahaia.”

Beberapa saat kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari kamar Rabi'ah. Mereka lalu membuka pintu kamar itu dan mendapatkan Rabi’ah telah berpulang ke Rahmatullah.

Setelah Rabi’ah meningal dunia, ada yang bertemu dengannya dalam sebuah mimpi. Rabi’ah ditanya.

“Rabi'ah. bagaimana engkau menghadapi malaikat Munkar dan Nankir ?”

Rabi’ah menjawab, “Kedua malaikat itu datang kepadaku dan bertanya: ‘Siapakah Tuhanmu?’

Aku menjawab: Pergilah kepada Tuhanmu dan katakan kepada-Nya: 'Di antara beribu-ribu makhluk yang ada, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah. Aku hanya memiliki Engkau di dunia yang luas, tak pernah lupa kepada-Mu, tetapi mengapakah Engkau mengirim utusan sekedar menanyakan 'siapakah Tuhanmu’ kepadaku.”

DOA-DOA RABI’AH

“Ya Allah, apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku”.

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalam neraka; dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, campakkanlah aku dari dalam surga; tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku .

“Ya Allah, semua jerih payahku dan semua hasratku di antara segala kesenangan-kesenangan dunia ini adalah untuk mengingat Engkau. Dan di akhirat nanti, di antara segala kesenangan akhirat, adalah untuk berjumpa dengan-Mu. Begitulah halnya dengan diriku, seperti yang telah kukatakan. Kini, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki”.
Copyright © Mendalami. Template by: Petunjuk Onlene