Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri. Ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayaan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin.
AWAL JULUKANNYA
Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah seorang yang merdeka. Orang-orang mengisahkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu. Setelah berada di tengah lautan, awak-awak perahu rneminta: “Bayarlah ongkos perjalananmu!”.“Aku tak mempunyai uang”, jawab Malik.
Awak-awak perahu memukulinya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka menagih ongkos lagi:
“Bayarlah ongkos perjalananmu!”.
“Aku tak mempunyai uang”, jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka memukulinya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.
“Bayarlah ongkos perjalananmu!”
“Aku tak mempunyai uang”.
“Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut", pelaut-pelaut tersebut berseru.
Tangan dan kaki Malik sudah dipegani dan hampir dilemparkan k« laut namun, saat itu juga tiba-tiba semua ikan di laut mendongakkan kepali) mereka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dan uang itu diberikannya kepada awak-awak porahu Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Bukan hanya itu saja yang membuat para awak perahu keder, sepasang mata mereka terbelalak heran saat Malik dengan tenangnya keluar dari perahu dan berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja, Malik kemudian meninggalkan perahu tersebut. Karomah inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar (Malik anak si uang emas).
Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah sebagai berikut. Ia adalah seorang lelaki yang sangat tampan, gemar bersenang-senang dan memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah.
Malik tinggal di Damaskus di mana golongan Mu’awiyah telah membangun sebuah masjid yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid tersebut. Maka pergilah ia ke masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu dibentangkannya sajadahnya dan di situlah ia selama setahun terus-menerus melakukan ibadah sambil berharap agar setiap orang akan melihatnya sedang melakukan shalat.
“Alangkah munafiknya engkau ini”, ia selalu berkata kepada dirinya sendiri.
Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam, Malik keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang.
Pada suatu malam ketika ia sedang asyik menikmati musik di kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah suara: “Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?”
Mendengar kata-kata yang sangat menggetarkan hati ini, Malik segera melemparkan kecapinya dan berlari ke masjid.
“Selama setahun penuh aku telah menyembah Allah secara munafik”, ia berkata kepada dirinya sendiri. ‘'Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yang harus kulakukan? Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak akan mau menerimanya”.
Ia bertekad akan beribag khusyuk kepada Allah. Tidak lagi riya’ atau karena pamrih agar dilihat orang lain. Pada malam itulah untuk pertama kalinya ia,shalat dengan sepenuh keikhlasan.
Keesokan harinya,, seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan masjid.
“Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak”, mereka berseru. “Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini”.
Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawas masjid itu adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalatnya.
“Kami datang untuk memintamu agar sudi menerima pengangkatan kami ini”, mereka berkata.
“Ya Allah”, seru Malik, “setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah kuberikan jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebut ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini”.
Malik berlari meninggalkan masjid itu kemudian menyibukkan diri beribadah kepada Allah, dan menjalani hidup prihatin serta penuh disiplin beribadah baik yang wajib maupun yang sunnah. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan.
“Aku ingin menjadi isteri Malik”, katanya, “sehingga ia dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah”.
Keinginan dara ini disampaikan Tsabit kepada Malik.
‘'Aku telah menjatuhkan thalak kepada dunia” Jawab Malik. "Wanita itu adalah milik dunia yang telah kuthalak, karena itu aku tidak dapat menikahinya”.
Ada seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si pemuda tersebut. Tetapi orang-orang datang menghadap Malik dengan keluhan-keluhan mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik mendatangi pemuda itu dan meminta agar ia merubah tingkah lakunya.
Dengan bandel dan seenaknya si pemuda menjawab: “Aku adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku”.
“Aku akan mengadu kepada sultan”, Malik mengancam.
“Sultan tidak akan mencela diriku”, jawab si pemuda. “Apa pun yang kulakukan, sultan akan menyukainya.”
“Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa”, Malik meneruskan ancamannya, “aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih”, sambil menunjuk ke atas.
“Allah?”, jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diriku ini”.
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegur si pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya.
“Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai si pemuda.
Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak: “Apa pulakah yang telah terjadi sehingga engkau datang ke sini untuk kedua kalinya?”
Malik menjawab: “Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku telah mendengar seruan yang mengatakan....”
Si pemuda berseru: “Wahai! Kalau begitu halnya, maka gedungku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tidak perduli lagi dengan semua harta kekayaanku ini”.
Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan memulai pengembaraan di atas dunia ini.
Malik mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.
“Ia adalah Sahabatku” si pemuda berkata dengan terengah-engah. “Aku akan menemui Sahabatku”. Setelah berkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
TEGUH DALAM BERPANTANGNYA
Telah bertahun-tahun bibir Malik tidak dilewati makanan yang manis maupun yang asam. Setiap malam ia pergi ke tukang roti dan membeli dua potong roti untuk membuka puasanya. Kadang-kadang roti yang dibelinya itu masih terasa hangat; dan ini menghibur hatinya dan dianggapnya sebagai perangsang selera.
Pada suatu hari Malik jatuh sakit dan ia sangat ingin memakan daging. Sepuluh hari lamanya keinginan itu dapat ditindasnya. Sewaktu ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, maka pergilah ia ke toko makanan untuk membeli dua tiga potong kaki domba dan menyembunyikan kaki domba tersebut di lengan bajunya.
Si pemilik toko menyuruh seorang pelayannya membuntuti Malik untuk menyelidiki apa yang hendak dilakukannya. Tidak berapa lama kemudian si pelayan kembali dengan air mata berlinang. Si pelayan memberikan laporannya: “Dari sini ia pergi ke sebuah tempat yang sepi. Di tempat itu dikeluarkannya kaki-kaki domba itu, diciumnya dan ia berkata kepada dirinya sendiri. ‘Lebih daripada ini bukanlah hakmu’. Kemudian diberikannya roti, dan kaki-kaki domba tersebut kepada seorang pengemis. Kemudian ia berkata pula kepada dirinya sendiri: ‘Wahai jasmani yang lemah, jangan kau sangka bahwa aku menyakitimu karena benci kepadamu. Hal ini kulakukan agar pada hari Berbangkit nanti, engkau tidak dibakar di dalam api neraka. Bersabarlah beberapa hari lagi, karena pada saat itu godaan ini mungkin telah berhenti dan engkau akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi”.
Pada suatu ketika Malik berkata: “Aku tidak mengerti apakah maksudnya ucapan: ‘bila seseorang tidak memakan daging selama empat puluh hari maka kecerdasan akalnya akan berkurang! Aku sendiri tidak pernah makan daging selama dua puluh tahun, tetapi kian lama kecerdasan akalku makin bertambah juga'’.
Selama empat puluh tahun Malik tinggal di kota Bashrah dan selama itu pula ia tidak pernah memakan buah korma yang segar. Apabila musim korma tiba, ia berkata: “Wahai penduduk kota Bashrah, saksikanlah betapa perutku tidak menjadi kempis karena tidak memakan buah korma dan betapa perut kalian tidak gembung karena setiap hari memakan buah korma”.
Namun setelah empat puluh tahun lamanya, batinnya diserang kegelisahan. Betapa pun usahanya namun keinginannya untuk memakan buah korma segar tidak dapat ditindasnya lagi. Akhirnya setelah beberapa hari berlalu, keinginan tersebut kian menjadi-jadi walaupun tak pernah dikabulkannya, dan Malik akhirnya tak berdaya untuk menolak desakan nafsu itu.
“Aku tidak mau memakan buah korma”, ia menyangkal keinginannya sendiri. “Lebih baik aku dibunuh atau mati”.
Malam itu terdengarlah suara yang berkata: “Engkau harus memakan beberapa buah korma. Bebaskan jasmanimu dari kungkungan”.
Mendengar suara ini jasmaninya yang merasa memperoleh, kesempatan itu mulai menjerit jerit.
“Jika engkau menginginkan buah kurma”, Malik menyentak, “berpuasalah terus-menerus selama satu minggu dan shalatlah sepanjang malam, setelah itu barulah akan kuberikan buah kurma kepadamu”.
Ucapan ini membuat jasmaninya senang. Dan seminggu penuh ia shalat sepanjang malam dan berpuasa setiap hari. Setelah itu ia pergi ke pasar, membeli beberapa buah korma, kemudian pergi ke masjid untuk memakan buah-buah korma tersebut di sana.
Tetapi dari loteng sebuah rumah, seorang bocah berseru: “Ayah!
seorang Yahudi membeli korma dan hendak memakannya di dalam masjid”.
“Apa pula yang hendak dilakukan Yahudi itu di dalam masjid?” si ayah menggerutu dan bergegas untuk melihat siapakah Yahudi yang dimaksudkan anaknya itu. Tetapi begitu melihat Malik, ia lantas berlutut di depan tokoh sufi besar yang bisa berjalan di atas air itu.
“Apakah artinya kata-kata yang diucapkan anak itu?”, Malik mendesak.
“Maafkanlah ia guru”, si ayah memohon, “la masih anak-anak dan tidak mengerti. Di sekitar ini banyak orang-orang Yahudi. Kami selalu berpuasa dan anak-anak kami menyaksikan betapa orang-orang Yahudi makan di siang hari. Oleh karena itu mereka berpendapat hahvva setiap orang yang makan di siang hari adalah seorang Yahudi. Apa-apa vang telah diucapkannya, adalah karena kebodohannya. Maafkanlah dia”.
Mendengar penjelasan tersehut Malik sangat menyesal. Ia menyadari bahwa anak itu telah didorong Allah untuk mengucapkan kata-kata itu.
“Ya Allah”, seru Malik, “sebuah korma pun belum sempat kumakan dan Engkau menyebutku Yahudi melalui lidah seorang anak yang tak berdosa. Seandainya korma-korma ini sempat termakan olehku niscaya Engkau akan menyatakan diriku sebagai seorang kafir. Demi kebesaran-Mu aku bersumpah tidak akan memakan buah korma untuk selama-lamanya“
Category: Kisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar