Ketahuilah bahwa ilmu dipusatkan dalam jiwa manusia dan semuanya menerima segala ilmu. Gagalnya jiwa dari mendapatkan ilmu disebabkan sesuatu dari luar yang mendatangi jiwa. Hal ini diisyaratkan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
Beliau juga bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrahSifat dasar jiwa siap menerima bentuk-bentuk yang rasional dengan kekuatan kesuciannya yang asli dan karakter dasarnya. Akan tetapi, ketika turun di dunia, sebagian jiwa menjadi sakit, sehingga sebab sakitnya ini, jiwa tersebut terhalangi untuk bisa melihat berbagai hakikat. Sebagian jiwa yang lain tetap dalam keadaan sehat seperti aslinya, tidak berpenyakitan juga tidak rusak. Jiwa yang seperti ini selamanya hidup dan selalu siap menerima ilmu. Jiwa yang sehat adalah jiwa nubuwah yang mampu menerima wahyu dan diberi kekuatan untuk memperlihatkan mukjizat. Jiwa nubuwah ini senantiasa dalam keadaan sehat dan tidak pernah berubah meskipun diserang berbagai penyakit, sehingga para nabi menjadi dokter-dokter jiwa dan mengajak manusia kembali kepada jiwa yang suci.
Di dunia, jiwa yang sakit diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan. Ada jiwa yang terpengaruh oleh penyakit ringan, sehingga mendung lupa yang menyelimuti kesadarannya tidak begitu tebal (tipis) dan dirinya masih disibukkan dengan belajar. Kemudian pemilik jiwa ini mencari kesehatan yang asli, sehingga penyakitnya lambat laun menghilang dan mendung lupa yang menyelimutinya lenyap. Ada pula jiwa yang sepanjang usinya belajar, sibuk dengan menuntut dan mencari kesehatan asal, lalu penyakitnya hilang dengan pengobatan ringan. Mendung lupa yang menyelimuti kesadarannya menghilang dengan sedikit mengingat. Ada juga jiwa yang sepanjang usianya belajar, sibuk untuk memperoleh ilmu dan menyehatkan ruhaninya, tetapi tidak berhasil memahami apapun karena unsur-unsur jiwanya sudah rusak. Unsur-unsur jiwa jika sudah rusak tidak bisa diperbaiki.
Di samping itu ada juga jiwa yang kadang-kadang ingat, terkadang lupa, dan terkadang sakit, lalu merendahkan dirinya dan menemukan sedikit cahaya dan pancaran yang lemah. Jiwa ini mengalami kondisi yang kontradiktif ketika menghadapi dunia dan tenggelam di dalamnya. Ketenggelamannya sesuai dengan kuat dan lemahnya jiwa, seperti jiwa yang sehat ketika sakit dan jiwa yang sakit ketika sehat. Penyakit ini akan hilang jika jiwa dalam kondisi stabil dengan adanya ilmu ladunni dan mengetahui bahwa jiwa di awal penciptaannya sudah alim dan jernih. Jiwa menjadi bodoh karena sakit disebabkan lekatnya jiwa pada tubuh yang tebal, menetap di tempat yang kotor dan gelap, dan ia tidak mampu mewujudkan ilmu yang tidak ada.
Seorang ayah yang cinta dan merindukan anaknya ketika dihadapkan pada urusan memelihara anaknya, ia tentu lupa pada semua urusan dan cukup memikirkan satu urusan, yaitu urusan anak. Jiwa karena sangat rindu dan mencintai fitrahnya, ia akan menetap dalam kerangka fitrahnya, sibuk memakmurkan dan memeliharanya, dan sangat prihatin terhadap kemaslahatannya. Akhirnya, ia tenggelam dalam lautan tabiat dan di tengah-tengah usianya, ia butuh belajar untuk mengingat apa yang lupa dan sangat menginginkan kembalinya kekayaan batin yang hilang. Belajar tidak lain adalah proses kembalinya jiwa kepada intan permata dan mengeluarkan apa yang tersimpan dalam sanubari menjadi tindakan guna mendapatkan kesempurnaan batin dan kebahagiaan jiwa.
Jiwa yang lemah tidak mampu mengarahkan batinnya menuju hakikat intan permatanya dan mengikuti guru yang alim dan penyayang serta minta tolong kepadanya agar membantunya dalam mencari apa yang dicita-citakannya. Jiwa semacam ini seperti orang sakit yang tidak mengetahui cara mengobati penyakitnya. Ia hanya mengetahui bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga yang dicari-carinya.
Karena itu, ia harus kembali kepada dokter jiwa yang cakap dan penyayang. Ia mengutarakan keadaannya kepada dokternya dan minta perlindungan kepadanya agar menyembuhkan dan menghilangkan penyakitnya. Kami melihat seorang alim yang sakit seperti terserang sakit kepala dan dada, lalu ia terhalangi dari semua ilmu, lupa terhadap pengetahuan-pengetahuannya, dan kekayaan ilmunya menjadi kabur, lalu semuanya itu menutupi hapalan dan ingatannya di masa lalu. Ketika jiwa sehat, kesembuhan kembali kepadanya, lupa hilang dari dirinya, dan jiwa kembali kepada pengetahuannya, lalu ia menjadi ingat atas apa yang pernah hilang dari ingatannya.
Dengan demikian, kami mengetahui bahwa ilmu tidaklah lenyap, yang ada adalah ilmu dilupakan. Muhwu (sadar) dan nisyan (lupa) dipisahkan di antara manusia. Muhwu lenyapnya ukiran dan tulisan, sedangkan nisyan adalah terpakaian ukiran pada jiwa, sehingga kedudukannya seperti mendung atau awan yang menutupi sinar matahari dari pandangan orang, bukan seperti matahari yang tenggelam yang disebabkan kepindahan matahari dari arah atas ke arah bawah. Jiwa yang disibukkan dengan belajar adalah proses menghilangkan penyakit dari tubuh jiwa (jiwa bertubuh) agar jiwa kembali mengetahui pengetahuan fitrah dan kesucian awal.
Jika kamu mengetahui sebab, kehendak belajar, hakikat jiwa dan tubuh jiwa, maka ketahuilah bahwa jiwa yang sakit butuh belajar dan menggunakan umur untuk menghasilkan ilmu. Jiwa yang sakitnya ringan, faktor penyebabnya lemah, kejahatannya ringan, mendungnya tipis dan unsur-unsur pembentuknya sehat, maka jiwa semacam ini tidak membutuhkan tambahan ilmu dan kelelahan yang berkepanjangan. Tetapi ia cukup berpikir Sebentar dan ringan karena telah kembali kepada jiwa asalnya, menerima fitrah dan hakikatnya, mengamati kesamarannya, lalu mengeluarkan kekuatan yang tersimpan di dalamnya untuk dijadikan perbuatan nyata.
Jika sudah demikian, ilmu yang terpusat dalam jiwanya menjadi perhiasan dan ia mengetahui banyak hal. Berbagai pengetahuan dapat dikuasainya dengan waktu yang sedikit. Pengetahuan yang dikuasainya diungkapkan dengan redaksional yang indah. Ia menjadi seorang alim yang sempurna, jiwa nya disinari cahaya nafu kully dan nafsu kullynya menyinari nafsu juz'iy. Jiwa yang demikian mampu memutus urat-urat hasud, pangkal dendam, dan mengesampingkan kelebihan dunia dan perhiasannya. Jika jiwa sudah mencapai tingkatan ini, ia mengetahui banyak hal, selamat dan jaya. Inilah permata berharga yang dicari-cari semua manusia.
Hakikat Ilmu Ladunni dan Sebab-sebab Perolehannya
Ketahuilah bahwa ilmu ladunni adalah berjalannya cahaya ilham. Ia terjadi setelah jiwa mengalami kesempurnaan, sebagaimana yang difirmankan Allah swt.: “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya.” (QS. Al Syams: 7). Jiwa yang demikian kembali dengan tiga hal.
Pertama, menghasilkan semua ilmu dan mengambil bagian lebih banyak.
Kedua, latihan batin yang benar dan muraqabah (selalu merasa dirinya diawasi Allah) yang tepat. Nabi saw. menunjukkan hakikat ini dengan bersabda: l'Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah mewariskan [nya] ilmu yang belum diketahuinya.”
Ketiga, berpikir. Jika jiwa belajar dan melakukan latihan spiritual dengan ilmu, kemudian memikirkan apa yang telah -diketahuinya dengan memenuhi syarat-syarat berpikir, maka dibukakan padanya pintu gaib. Ini seperti pedagang yang membelanjakan hartanya dengan memenuhi syarat-syarat perdagangan, maka akan dibukakan untuknya pintu-pintu keuntungan. Jika ia berjalan di jalan kesalahan, maka ia akan terjatuh di tempat yang merugikan. Pemikir jika berjalan di jalan kebenaran, ia akan menjadi seorang alim yang masuk golongan ulul albab, lalu dibukakan untuknya rahasia-rahasia ilmu gaib dalam hatinya, sehingga ia menjadi seorang alim yang sempurna dan memiliki akal yang senantiasa terilhami. Rasulullah saw. bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun. ”
Syarat-syarat berpikirtelah kami himpun dalam buku kami yang lain karena ini memang persoalan yang sangat penting dan butuh penjelasan tambahan dan pertolongan Allah. Sekarang kami menutup risalah ini. Risalah ini sudah cukup memberi keterangan bagi ahlinya. Allah swt. berfirman: “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tidaklah ia mempunyai cahaya sedikit pun.’} (QS. Al Nur: 40).
Allah adalah Penolong orang-orang mukmin dan kepada-Nya mereka berserah diri. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kami, Muhammad saw., keluarga dan para sahabatnya. Kami cukup dengan Allah dan Allah adalah sebaik-baik wakil. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, Dzat Yang Maha Luhur dan Agung. Hanya kepa-daNya kepercayaanku dalam setiap waktu dan keadaan. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Category: Pengetahuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar