Pembagian Ilmu dalam Islam

Ketahuilah bahwa ilmu terbagi menjadi dua: pertama adalah (1) ilmu syar’i dan (2) ilmu akal. Kebanyakan ilmu syar’i bersifat rasional bagi yang ahli ilmu, dan kebanyakan ilmu rasional juga bersifat syar’i bagi orang yang ahli ma’rifat. “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak mempunyai cahaya [sedikitpunj.” (QS. Al Mur: 40).

Ilmu Syar’i

Ilmu ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu ilmu pokok dan ilmu cabang. Ilmu pokok atau ilmu dasar adalah ilmu tauhid. Ilmu ini memandang Dzat Allah, sifat-sifatNya yang qadim, sifat-sifat perbuatanNva, dan sifat-sifat DzatNya dengan nama-nama yangtelah diperkenalkan olehNya. Ilmu ini juga merenungkan keadaan para Nabi, para pemimpin dan para sahabat, di samping juga memikirkan keadaan maut, kehidupan, kiamat, hari kebangkitan, padang mahsyar, dan perhitungan akhir. Orang yang “melihat” Allah dan ahli ilmu syar’i pertama kali berpedoman ayat-ayat Al Quran, kemudian hadis-hadis Rasulullah saw., dan terakhir dalil-dalil aqli dan argumen-argumen analog. Mereka juga mengambil dalil-dalil yang digunakan dalam ilmu mantiq dan filsafat. Kelompok yang menggunakan dalil-dalil yang terakhir ini sering kali meletakkan kata-kata bukan pada tempatnya, kemudian mereka mengutarakan berbagai pernyataan dengan permata tunggal, jiwa, dalil, penalaran, logika dan hujjah. Karena logika, maka tidak jarang satu kata memiliki makna yang beragam sesuai dengan siapa yang mengatakannya. Para filsuf mengartikan jiwa atau ruh dengan makna tertentu, kaum sufi memaknainya dengan makna lain, dan ahli kalam atau kaum teolog juga punya makna sendiri. Dalam bahasan ini, penulis tidak perlu mengutarakan makna-makna yang berbeda-beda ini menurut pikiran kelompok-kelompok mazhab. Mereka ini adalah kaum yang ahli ilmu kalam, ilmu tauhid dan mereka diberi julukan ulama kalam. Nama ilmu kalam masyhur untuk sebutan ilmu tauhid.

Di antara ilmu yang bisa dikategorikan ilmu pokok adalah tafsir karena Al Quran adalah sesuatu yang paling agung, paling mulia, dan paling benar. Dalam Al Quran terdapat berbagai persoalan yang tidak bisa dijangkau oleh akal kecuali orang yang telah diberi Allah pemahaman. Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah satu ayat pun di antara ayat-ayatAl Quran kecuali memiliki [bentuk] zahir dan [bentuk] batin, dan satu batinnya mempunyai satu batin hingga tujuh batin/'
Dalam riwayat lain disebutkan hingga memiliki sembilan batin. Rasulullah saw. juga bersabda: “Setiap huruf di antara huruf-huruf Al Quran mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat terbitnya.”

Dalam Al Quran terhimpun berbagai ilmu pengetahuan. Allah swt. mengabarkan bahwa seluruh ilmu dan segala yang ada, baik yang tampak, samar, kecil, besar, bisa dihitung, bisa dinalar maupun yang tidak bisa dinalar terdapat dalam Al Quran. “Tidak ada yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahjiizh).'’ (QS. Al Anam: 59).

“Supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya memperoleh pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29).

Apabila Al Quran dihitung sebagai perkara yang terbesar, maka siapakah mufassir (ahli tafsir) yang telah memenuhi hak Al Quran dan siapa pula ulama yang keluar dari batas-batasnya. Memang benar, setiap mufassir diwajibkan menjelaskan tafsirannya sesuai dengan kemampuannya, menurut ukuran kekuatan akalnya, dan sebanding dengan inti ilmunya. Ilmu Al Quran menunjukkan ilmu pokok, ilmu cabang, ilmu syar’i, dan ilmu rasional. Seorang mufassir atau ulama tafsir harus memahami Al Quran dari berbagai sisi, mulai dari sisi bahasa, arti kiasan, struktur kalimat, tingkat-an-tingkatan gramatika, kebiasaan orang Arab, filosofis, hingga pendapat-pendapat kaum sufi sampai penafsirannya mendekati kenyataan (hakiki). Seandainya pemahamannya dalam satu sisi terbatas, tetapi dengan ilmu tertentu ia mendapatkan kepuasan, berarti ia belum keluar dari batas-batas penafsiran. Pada posisi ini, ia berpedoman pada hujjah iman dan kekuatan argumen.

Hadis juga termasuk ilmu pokok. Nabi saw. adalah orang yang paling fasih di antara bangsa Arab dan non-Arab. Beliau seorang mahaguru yang senantiasa mendapatkan wahyu dari Allah swt. Akalnya meliputi dan menjangkau semua yang berada di atas dan yang di bawah. Setiap kata dari kata-katanya, bahkan setiap huruf di antara huruf-huruf yang disabdakannya di bawahnya pasti ditemukan lautan rahasia dan simpanan yang berharga. Karena itu, ilmu hadis dan mengetahui hadis-hadisnya adalah perkara yang agung. Tidak seorang pun yang mampu mengetahui dan memahami sabda Nabi saw. kecuali jiwanya telah terdidik dengan senantiasa mengikuti Allah (dengan meneladani Rasul) dan menghilangkan kebengkokan-kebengkokan dari hatinya dengan menegakkan Sunnah Nabi saw.

Barangsiapa ingin berbicara tentang tafsir Al Quran, menafsiri hadis-hadis Rasul, dan benar dalam berbicara, maka wajib atasnya, yang pertama, menguasai ilmu bahasa dan paham ilmu nahwu, i’rab, dan sharaf. Ilmu bahasa adalah tangga dan jembatan yang mengantarkan kepada semua ilmu. 

Barangsiapa tidak mengetahui ilmu bahasa, maka tidak ada jalan baginya untuk menguasai macam-macam ilmu. Barangsiapa ingin mendaki suatu hamparan yang berada di atas, maka wajib baginya menyiapkan tangga, kemudian mendaki. Ilmu bahasa dalam hal ini ibarat sarana, jembatan, dan tangga. Karena itu, pencari ilmu membutuhkan hukum-hukum bahasa. Dengan demikian, ilmu bahasa adalah dasar dari semua dasar Hal pertama yang harus diketahui dari ilmu bahasa adalah ilmu alat. Selain itu, pengkaji juga harus memperhatikan syair-syair Arab, terutama yang disusun di zaman Jahili. Karena syair Jahili kekuatan bahasanya sangat tajam, daya imajinasi dan emosinya kuat. Ilmu nahwu atau gramatika Arab yang diibaratkan timbangan juga harus dikuasai. Setiap ilmu memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, seperti mantik atau ilmu logika adalah untuk ilmu hikmah, ilmu ‘arudl untuk syair, dan timbangan untuk menakar biji-bijian. Setiap apa saja yang tidak ditimbang dengan timbangan, maka tidak diketahui hakikat tambahan dan pengurangan. Itulah sebabnya ilmu bahasa diibaratkan jalan yang menghubungkan padu ilmu tafsir dan hadis. Ilmu Al Quran dan hadis adalah dalil yang menunjukkan pada ilmu tauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang tidak satu pun jiwa bisa selamat kecuali berpedoman dengannya, dan ia juga tidak terbebas dari ancaman hari akhir kecuali dengan mengilmuinya.

Bagian kedua dari ilmu syar'i adalah ilmu cabang. Ilmu jenis ini ada kalanya bersifat ilmu semata dan ada pula yang berupa amalan atau perbuatan. Ilmu pokok adalah pengetahuan mumi, yakni ilmiah. Sedangkan ilmu cabang adalah perbuatan. Ilmu amaliah (perbuatan) ini mencakup tiga hak, yaitu hak Allah, hak hamba atau ibadah, dan hak jiwa.

Hak Allah dalam perspektif ini adalah rukun-rukun ibadah, seperti bersuci, shalat, zakat, haji, jihad, dzikir, berhari raya, shalat jumat, dan ibadah-ibadah sunnah. Sedangkan hak hamba adalah pintu-pintu adat atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dalam hal ini, hak hamba terbagi menjadi dua. Pertama, mu’amalah, seperti jual-beli, syirkah atau perkongsian, hibah, investasi modal, pinjaman, dan berbagai jenis piutang. Kedua adalah akad perjanjian, seperti nikah, talak, memerdekakan budak, dan faraid. Umufiqih mencakup dua sisi hak hamba ini. Karena itu, ilmu fiqih adalah ilmu yang mulia, memberi manfaat umum, dibutuhkan, dan semua manusia membutuhkannya.

Hak yang ketiga adalah hak jiwa, yaitu ilmu akhlak. Akhlak adakalanya tercela dan wajib dibuang. Akhlak ada juga yang baik dan wajib dimiliki. Akhlak jenis ini harus menjadi hiasan jiwa. Akhlak yang tercela dan yang terpuji sama-sama dijelaskan dalam Al Quran dan Al Sunnah. Barangsiapa berakhlak dengan salah satu akhlak yang baik, ia masuk surga.

Ilmu Akal

Ini adalah jenis ilmu yang sulit dan membingungkan, ka-dang-kadang benar dan kadang pula salah. Jika diklasivi-kasikan, ilmu akal tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkatan pertama, tingkatan kedua, dan tingkatan ketiga. Tingkatan yang pertama adalah tingkatan yang tertinggi, yaitu ilmu pasti dan ilmu logika. Di antara ilmu-ilmu yang bisa dikelompokkan ilmu alam adalah ilmu hitung, ilmu teknik atau arsitektur, ilmu alam yang mencakup ilmu perbintangan, ilmu bumi, dan ilmu cuaca. 

Sedangkan ilmu logika adalah ilmu yang mengajarkan cara membuat batasan, definisi, dan rumusan tentang sesuatu yang bisa diketahui dengan logika atau bayangan. Di samping itu, ilmu ini juga mengajarkan cara membuat perbandingan dan argumen-argumen berbagai ilmu yang diperoleh dengan cara yang benar. Ilmu logika berputar mengikuti kaidah-kaidah berikut ini, yaitu diawali dengan satuan-satuan tunggal, kemudian dengan susunan dari satuan-satuan tunggal, kemudian berhi-potesa, kemudian membandingkan, kemudian membagi-bagi perbandingan, dan diakhiri mencari hujjah atau argumen.

Tingkatan kedua, yakni tingkatan tengah-tengah adalah ilmu alam. Orang yang menggeluti ilmu ini memandang tubuh secara mutlak, memperhatikan unsur-unsur alam, benda-benda langit, benda-benda padat, esensi benda, gerak dan diamnya sesuatu, keadaan langit dan segala apa saja yang bergerak atau yang memberi aksi dan reaksi. Dari ilmu ini, maka lahirlah ilmu yang mengamati keadaan susunan benda-benda yang ada, nyawa dan jenis-jenisnya, alat-alat indra dan bagaimana indra mengetahui objeknya, kemudian berkembang menjadi ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran adalah ilmu badan, anatomi tubuh, penyakit, obat-obatan, penyembuhan dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Cabang-cabang ilmu yang berkembang dari ilmu kedokteran adalah ilmu yang mampu mendeteksi pengaruh obat atau penyakit, ilmu pertambangan, dan ilmu yang mengetahui rahasia di balik benda-benda. Ilmu ini bisa berkembang hingga ke puncaknya sampai menghasilkan ilmu kimia, yang di antara fungsinya bisa untuk mengobati tubuh yang sakit yang terdapat dalam rongga tubuh.
Tingkatan ketiga adalah ilmu yang tertinggi, yaitu ilmu yang mampu memandang sesuatu yang ada. 

Ilmu ini dibagi menjadi ilmu yang wajib dan ilmu yang mungkin. Kemudian ilmu ini memandang Pencipta sesuatu yang ada, DzatNya, semua sifatNya, perbuatanNya, perintah dan hukumNya, qa-dla’Nya, dan urutan penampakan sesuatu yang ada. Bertolak dari sini, ilmu menguak sesuatu yang luhur, sangat bernilai, yaitu jiwa, akal, nafsu yang sempurna, kemudian merenungkan keadaan malaikat dan setan, yang akhirnya mengantarkan kepada ilmu kenabian, kemukjizatan, karo-mah, keadaan jiwa yang suci, keadaan jiwa yang tidur, tersadar, bang'un, dan maqam-maqam ru’yah. Dari ilmu ini, maka lahirlah ilmu jimat, mantra-mantra, tumbal, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengannya. Ilmu-ilmu yang dipaparkan di atas memiliki pasal-pasal, urut-urutan, dan tingkatan-ting-katannya yang masing-masing membutuhkan penjelasan tersendiri. Akan tetapi, kami cukup meringkasnya sampai di sini saja.

Ilmu Tasawuf

Ketahuilah bahwa ilmu akal pada mulanya bersifat tunggal, satu, kemudian darinya lahir ilmu yang tersusun dari yang tunggal. Dalam ilmu yang tersusun ini diketahui seluruh keadaan alam secara satuan-satuan. Di antara ilmu yang tersusun itu terdapat ilmu sufi dan cara-cara pengamalnya membina pribadi. Para sufi memiliki ilmu khusus dengan cara yang jelas dan ilmu mereka meliputi ilmu hal, waktu, pendengaran, wijd, syauq, sakr; shahwu, itshat, muhu, faqr, fana', wilayah, iradah, syekh, murid, dan apa saja yang berkaitan dengan keadaan spiritual mereka dan sifat-sifat serta maqamat. Insyaallah kami akan membahas tiga macam ilmu ini dalam kitab khusus, dan sekarang kami tidak mempunyai tujuan selain menjabarkan klasifikasi ilmu dan jenis-jenisnya dalam risalah ini. Semua ini kami jelaskan secara ringkas. Barangsiapa menginginkan keterangan tambahan, maka dipersilakan menelaah kitab-kitab tasawuf yang lain. Setelah penjelasan tentang klasifikasi dan jenis-jenis ilmu dipaparkan, maka ketahuilah dengan yakin bahwa setiap cabang ilmu menuntut beberapa syarat untuk mengukirnya di dalam jiwa para pencarinya. Sesudah memahami macam-macam ilmu, kamu wajib mengetahui cara-cara menghasilkannya. Setiap ilmu mempunyai cara tertentu untuk mendapatkannya. Insyaallah kami akan memaparkannya berikut ini.

Cara Mendapatkan Ilmu

Ketahuilah bahwa ilmu manusia (kemanusiaan) diperoleh melalui dua cara: pertama dengan cara ta’allum insani (belajar melalui perantaraan manusia) dan kedua dengan cara ta'allum rabbani (belajar secara langsung kepada Tuhan).

Cara pertama: mendapatkan ilmu dengan cara yang pertama adalah cara yang diatur berdasarkan aturan-aturan atau undang-undang yang dibuat manusia, dan langkah-langkah dan prosesnya bisa diindra. Tekniknya dengan mendekati para cerdik cendekia. Adapun cara ta'allum rabbani adalah cara yang ditempuh dengan melalui dua arah. Pertama dari arah luar, yang ditempuhnya dengan belajar, dan kedua adalah dari arah dalam yang diperolehnya dengan aktif berpikir. Berpikir yang diproses dari dalam jiwa kedudukannya seperti belajar yang bersifat kasatmata. Belajar adalah proses pengambilan manfaat dari diri yang bersifat juz’iy (bagian). Berpikir adalah proses pengambilan manfaat jiwa dari jiwa yang bersifat kulli (menyeluruh). Jiwa yang kulli pengaruhnya lebih dahsyat dan proses pembelajarannya lebih kuat dari semua proses belajar kepada ulama dan para ahli pikir.
Ilmu dipusatkan atau ditanamkan di dasar jiwa yang paling dalam dengan kekuatan, yang ibaratnya seperti sebutir biji-bijian yang ditanam dalam tanah. Sedangkan permata berharga yang juga diibaratkan ilmu letaknya di dasar lautan atau di perut bumi atau dalam hati. Belajar adalah upaya pencarian mengeluarkan sesuatu yang berharga itu dari sesuatu yang bersifat energi menjadi perbuatan. Belajar intensif adalah mengeluarkan mutiara (ilmu) dari kekuatan menjadi perbuatan. Jiwa orang yang belajar intensif seperti jiwa pengajar. Orang alim yang memberi manfaat seperti petani. Murid yang mencari manfaat seperti bumi. Ilmu yang hakikatnya merupakan kekuatan adalah seperti benih. Ilmu yang hakikatnya adalah perbuatan seperti tumbuh-tumbuhan. Jika jiwa murid sempurna, maka kedudukannya seperti pohon yang berbuah atau seperti permata yang berhasil dikeluarkan dari dasar lautan.

Apabila kekuatan badan mengalahkan jiwa, maka murid butuh tambahan belajar dan masa yang lama, di samping harus mampu memikul kesulitan, kelelahan, dan mencari manfaat. Jika cahaya akal mengalahkan sifat-sifat indra, maka pencari ilmu hanya butuh sedikit berpikir daripada banyak belajar. Dengan berpikir sesaat (satu menit, satu jam atau satu hari), jiwa yang terbuka mampu mendapatkan manfaat-manfaat (ilmu) yang tidak mungkin diperoleh jiwa yang beku yang belajar setahun.

Dengan demikian, sebagian orang memperoleh ilmu dengan belajar dan sebagian lagi memperolehnya dengan berpikir. Belajar butuh berpikir. Manusia tidak mampu mempelajari segala hal, baik yang bersifat juz’iyah (parsial atau spesifik) maupun kulliyah (universal), dan semua yang diketahui umat. Bahkan, ia hanya mampu mempelajari sesuatu, lalu mengeluarkannya menjadi ilmu dengan berpikir. Kebanyakan ilmu yang bersifat pemikiran atau teoritis dan ilmu-ilmu praktis atau terapan dihasilkan oleh jiwa para ahli hikmah dengan kejernihan otak mereka, kekuatan pikiran mereka, dan ketajaman dugaan mereka dengan tanpa menambah belajar. Seandainya manusia tidak mengeluarkan apa yang diketahuinya pertama kali dengan berpikir, tentu urusan kehidupan menjadi panjang dan problem tidak teratasi secara berlarut-larut. Ketika gelapnya kebodohan tidak hilang dari hati manusia, maka ilmu sulit diperoleh hanya mengandalkan belajar. Karena jiwa tidak mampu mempelajari seluruh ilmu pengetahuan dengan belajar semata, tetapi sebagian ilmu diperoleh dengan berpikir, sebagian lagi dengan berguru sebagaimana dilakukan orang pada umumnya, sebagian lagi dikeluarkan dari sanubarinya dengan kejernihan berpikir. Semua ini pernah dibuktikan para ulama, dan atas dasar ini pula, mereka menyusun kaidah-kaidah mencari ilmu.

Seorang insinyur pun tidak mampu mempelajari semua yang dibutuhkan, walaupun sepanjang usianya digunakan untuk itu. Ia hanya belajar secara global, kemudian mendalaminya secara mendetil sebatas objek-objek yang dibutuhkannya. Setelah itu, ia berpikir, membandingkan, dan kemudian mengeluarkan ilmu baru. Demikian juga seorang dokter. Ia juga tidak mampu mempelajari secara terperinci dan mendetil berbagai penyakit dan cara pengobatannya, termasuk obat-obatnya, tetapi ia hanya mampu mempelajari teori-teori atau informasinya secara global. Termasuk juga ahli perbintangan, tidak mampu mempelajari seluruh perbintangan. Ia belajar secara global, kemudian memikirkannya, dan memberi keputusan dengan berbagai hukum yang berbeda-beda. Demikian juga seorang ahli fiqih dan sastra. Para seniman dan ahli musik juga demikian. Seseorang berhasil menciptakan alat musik rebana, kemudian datang pemusik berikutnya, ia menemukan alat itu, lalu berpikir dan akhirnya mengeluarkan alat musik yang berbeda yang dihasilkan dari alat musik pertama.

Seluruh arsitek, ilmuwan atau psikolog ilmu dasar atau ilmu awalnya diperoleh dari belajar, kemudian selebihnya dihasilkan dari berpikir. Jika pintu berpikir terbuka dan tembus pada jiwa, maka cara berpikir dan memprediksi dapat diketahui dengan tepat. Jika sudah demikian, hati dan sanubari menjadi lapang, terbuka, dan tercerahkan, sehingga kekuatan yang tersimpan dalam jiwa keluar menjadi kekuatan nyata (ilmu aplikatif) dengan tanpa belajar yang panjang dan kelelahan yang bertumpuk-tumpuk.

Cara kedua adalah ta’lim rabbany, yakni belajar langsung kepada Tuhan. Cara ini ditempuh melalui dua pola. Pola yang pertama dengan turunnya wahyu ke dalam jiwa. Jiwa jika sudah mencapai kesempurnaan, maka kotoran tabiat dan ambisi serta angan-angan yang fana menjadi hilang. Jiwa yang sudah dalam kondisi demikian siap menghadap Penciptanva, memegang teguh wujud kepenciptaannya, dan menerima anugerah dan luberan cahayaNva. Allah swt. dengan pertolonganNya menerima jiwa itu dengan sepenuhnya, memandangnya dengan pandangan ke Tuhanan, dan menjadikannya papan untuk menuliskan ilmuNya. Bahkan, jiwa yang kullv dijadikan Allah pena, lalu ilmuNya dilukiskan di atas “papan” jiwa itu dengan “pena” jiwa. Akal yang kully akan menjadi seperti pengajar, dan jiwa yang suci seperti pelajar. Semua ilmu akan diperoleh oleh jiwa yang suci itu dari seluruh gambar atau rupa akan dilukis dalam jiwa yang suci dengan tanpa belajar dan berpikir. Kondisi demikian ini menggambarkan kebenaran firman Allah kepada NabiNya saw.: “Dia mengajarimu tentang apa yang belum kamu ketahui. ” (QS. Al Misa’: 113).

Ilmu para nabi derajatnya lebih mulia daripada ilmu semua makhluk karena ilmu mereka diperoleh dari Allah dengan tanpa penengah dan wasilah. Penjelasan ini ditemukan dalam kisah Nabi Adam as. dan para malaikat. Sepanjang usia, para malaikat belajar. Dengan belajar selama bertahun-tahun, mereka menguasai berbagai macam ilmu sehingga mereka menjadi sekelompok makhluk yang paling alim dan paling tahu di antara segala yang ada (selain Allah). Sedangkan Adam as bukanlah seorang yang alim karena ia tidak belajar. Maka para malaikat menjadi bangga, merasa besar dan sombong, lalu berkata: “Padahal kami (para malaikat) senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu.” (QS. Al Baqarah: 30). Kata para malaikat, kami mengetahui hakikat sesuatu.
Menyaksikan kenyataan seperti ini, Adam as kembali ke pintu Tuhannya, mengeluarkan hatinya dari semua eiptaan, lalu menghadap kepada Tuhannya dengan mohon pertolongan, lalu Allah mengajarinya semua nama-nama, “Kemudian (Dia/ mengemukakannya kepada para malaikat.” (QS. Al Baqarah: 3i). Setelah itu, Allah berfirman kepada para malaikat, “Sebutkan-lah kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. Al Baqarah: 31), Mendapat tantangan seperti ini, para malaikat menjadi merasa kecil di hadapan Adam. Ilmu mereka menjadi sedikit. Kapal yang menjadi kendaraan kebanggaan dan kesombongan mereka menjadi pecah, lalu mereka tenggelam dalam lautan kelemahan. “Mereka (para malaikat) berkata: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami/' (QS. Al Baqarah: 32). Setelah para malaikat menyerah, Allah swt. berkata kepada Adam, '‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu.” (QS. Al Baqarah:33). Adam as. mengabarkan kepada mereka macam-macam pengetahuan, baik yang tampak maupun yang samar atau yang tertutup.

Dari peristiwa ini, orang-orang berakal mengakui bahwa ilmu gaib yang diperoleh dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna daripada ilmu-ilmu yang diperoleh dengan cara belajar. Akhirnya, ilmu wahyu menjadi warisan para Nabi dan hak para Rasul. Semenjak Nabi Muhammad saw., Allah menutup pintu wahyu. Beliau adalah Rasulullah sekaligus Nabi penutup. Beliau juga menjadi orang yang paling tahu dan paling fasih. Beliau bersabda:

“Tuhanku mendidikku dan memperbaiki didikkanku."

Beliau juga pernah berkata kepada umatnya demikian: ‘Saya adalah orang yang paling tahu dan paling takut kepada Allah di antara kalian Ilmu Rasulullah saw. adalah paling sempurna, paling mulia dan paling kuat karena ilmunya diperoleh dari ta’lim rabbani (pengajaran Tuhan). Tidak satupun ilmu yang di peroleh dengan ta’lim insany mampu mengungguli ilmu ta’lim rabbani. Allah swt. berfirman: 

“Yang diajarkan kepadanya oleh [Jibril] yang sangat kuat.” (QS. Al Najm: 5).

Pola kedua' dari ta'lim rafobam adalah ilham. Ilham adalah peringatan jiwa yang kully kepada jiwa yang juz'iy sesuai dengan ukuran sifat, penerimaan, dan kuatnya penerimaan jiwa yang juz’iy atas jiwa yang kully. Ilham adalah pengaruh atau jejak wahyu. Wahyu adalah informasi langit yang menjelaskan perkara gaib secara terang-terangan. Sedangkan ilham adalah penjelasan yang bersifat isyarat atau sindiran. Ilmu yang diperoleh dari wahyu dinamakan ilmu nubuwah. Sedangkan ilmu yang diperoleh dari ilham dinamakan ilmu ladunni. Ilmu ladunni ini adalah ilmu yang perolehannya tanpa melalui perantara. Artinya, dalam perolehannya antara jiwa yang mendapatkannya dengan Tuhan yang memberikannya tidak ada perantara atau penengah. Kalau diibaratkan, ilmu ladunni seperti cahaya yang memancar dari lampu gaib yang menimpa hati yang bening, kosong dan lembut.
Telah dijelaskan bahwa akal kully (akal pertama) lebih mulia dan lebih sempurna, kuat dan dekat kepada Sang Pencipta daripada jiwa yang kully (jiwa pertama). Jiwa yang kully lebih mulia dan lembut daripada seluruh makhluk. Dari luapan akal kully, maka lahirlah ilham, dan dari pancaran jiwa yang kully juga lahir ilham. Wahyu adalah perhiasan para nabi, sedangkan ilham perhiasan para wali. Ilmu wahyu hakikatnya sama dengan jiwa tanpa akal atau wali tanpa nabi. Dengan demikian, ilham tanpa wahyu adalah lemah, yang kedudukannya seperti wahyu yang kuat dengan disandarkan pada mimpi. Ilmu adalah ilmu para nabi dan para wali. Ilmu wahyu dikhususkan kepada para rasul, seperti yang diwahyukan kepada Adam as, Musa as, Ibrahim as, Muhammad saw., dan para rasul yang lain.

Nubuwah menerima jiwa yang suci. Jiwa nubuwah yang suci ini menerima hakikat pengetahuan dan segala sesuatu yang rasional untuk dipancarkan kepada orang-orang yang mencari manfaat dan yang siap menerima Ilmu ladunni dimiliki oleh orang-orang yang memiliki derajat kenabian dan kewalian sebagaimana yang dicapai Khidras. Allah swt. berfirman: “Dcm Kami mengajarkannya ilmu dari sisi Kami' (QS. Al Kahfi: 65).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Saya memasukkan lidahku ke dalam mulutku, lalu dalam hatiku terbuka seribu pintu ilmu, yang setiap pintunya ada seribu pintu.” Dalam kesempatan lain, ia juga berkata, “Seandainya saya diberi tempat duduk, lalu saya duduk di atasnya, pasti saya mampu memutuskan perkara penganut Taurat dengan Taurat mereka, memutuskan perkara penganut Injil dengan Injil mereka, dan memutuskan perkara penganut Al Quran dengan Al Quran mereka.”

Ini adalah derajat keilmuan yang tidak mungkin diperoleh dengan belajar semata, yakni belajar yang bersifat ta’allum insany. Derajat ini hanya mungkin dicapai dengan kekuatan ilmu ladunni. Ali ra juga bercerita tentang kisah yang terjadi di masa Nabi Musa as, yaitu mengenai kitabnya yang sebanyak 40 pikulan. Seandainya Allah mengizinkannya untuk menjelaskan makna-makna Al Fatihah, niscaya penjelasannya melampaui 40 pikulan. Ini tentu ilmu yang sangat banyak, luas dan terbuka, yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan ilmu ladunni.

Seandainya Allah swt. menghendaki kebaikan kepada ham-baNya, pasti Dia akan menghilangkan hijab atau penutup antara DiriNya dengan jiwa hamba itu, yang jiwa itu kemudian menjadi papan (lauh). Jiwa yang menjadi papan itu dimunculkan di permukaannya rahasia-rahasia alam, lalu dituliskan di atasnya makna-makna alam itu, lalu jiwa itu mengungkapkannya sekehendaknya kepada orang yang dikehendaki. Hakikat ilmu hikmah hanya diperoleh dengan ilmu ladunni, dan orang yang belum mencapai tingkatan ini, ia tidak akan menjadi orang yang bijak, karena hikmah merupakan pemberian Allah semta. Allah swt. berfirman: "Allah menganugerahkan Al Hikmah (pemahaman yang mendalam tentang Al Quran dan Al Sun-nah) kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan harangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah itu. ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran [dari firman Allah]." (QS. Al Baqarah: 296).

Demikian itu dikarenakan orang-orang yang telah mencapai derajat ilmu ladunni, mereka tidak butuh ilmu yang lain, juga tidak perlu susah-susah belajar. Mereka cukup belajar sedikit dan mengetahui ilmu yang banyak. Mereka cukup bersusah-susah atau berpayah-payah sedikit, lalu mengeluarkan ilmu yang banyak.

Ketahuilah bahwa wahyu jika sudah teiputus dan pintu risalah apabila sudah ditutup, manusia tidak butuh lagi para rasul. Dakwah sudah dimenangkan setelah hujjah diluruskan dan agama disempurnakan. Allah swt. berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (QS. Al Maidah:3). Sedangkan pintu ilham tidak ditutup. Pancaran cahaya jiwa yang kully tidak akan terputus selama jiwa manusia membutuhkannya dan senantiasa memperteguh, memperbaruhi dan meng-ingatNya. Manusia tidak butuh risalah dan dakwah, tetapi mereka butuh peringatan karena mereka sering tenggelam dalam keraguan dan syahwat. AJlah swt. menutup pintu wahyu sebagai tanda bagi hamba-hambaNya, dan membuka pintu ilham sebagai rahmatNya.

Tata Tertib Jiwa Untuk Memperoleh Ilmu Ladunni

Ketahuilah bahwa ilmu dipusatkan dalam jiwa manusia dan semuanya menerima segala ilmu. Gagalnya jiwa dari mendapatkan ilmu disebabkan sesuatu dari luar yang mendatangi jiwa. Hal ini diisyaratkan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

"Manusia diciptakan dalam keadaan hanif (lurus/muslim),lalu setan memperdaya mereka
Beliau juga bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrahSifat dasar jiwa siap menerima bentuk-bentuk yang rasional dengan kekuatan kesuciannya yang asli dan karakter dasarnya. Akan tetapi, ketika turun di dunia, sebagian jiwa menjadi sakit, sehingga sebab sakitnya ini, jiwa tersebut terhalangi untuk bisa melihat berbagai hakikat. Sebagian jiwa yang lain tetap dalam keadaan sehat seperti aslinya, tidak berpenyakitan juga tidak rusak. Jiwa yang seperti ini selamanya hidup dan selalu siap menerima ilmu. Jiwa yang sehat adalah jiwa nubuwah yang mampu menerima wahyu dan diberi kekuatan untuk memperlihatkan mukjizat. Jiwa nubuwah ini senantiasa dalam keadaan sehat dan tidak pernah berubah meskipun diserang berbagai penyakit, sehingga para nabi menjadi dokter-dokter jiwa dan mengajak manusia kembali kepada jiwa yang suci.

Di dunia, jiwa yang sakit diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan. Ada jiwa yang terpengaruh oleh penyakit ringan, sehingga mendung lupa yang menyelimuti kesadarannya tidak begitu tebal (tipis) dan dirinya masih disibukkan dengan belajar. Kemudian pemilik jiwa ini mencari kesehatan yang asli, sehingga penyakitnya lambat laun menghilang dan mendung lupa yang menyelimutinya lenyap. Ada pula jiwa yang sepanjang usinya belajar, sibuk dengan menuntut dan mencari kesehatan asal, lalu penyakitnya hilang dengan pengobatan ringan. Mendung lupa yang menyelimuti kesadarannya menghilang dengan sedikit mengingat. Ada juga jiwa yang sepanjang usianya belajar, sibuk untuk memperoleh ilmu dan menyehatkan ruhaninya, tetapi tidak berhasil memahami apapun karena unsur-unsur jiwanya sudah rusak. Unsur-unsur jiwa jika sudah rusak tidak bisa diperbaiki.
Di samping itu ada juga jiwa yang kadang-kadang ingat, terkadang lupa, dan terkadang sakit, lalu merendahkan dirinya dan menemukan sedikit cahaya dan pancaran yang lemah. Jiwa ini mengalami kondisi yang kontradiktif ketika menghadapi dunia dan tenggelam di dalamnya. Ketenggelamannya sesuai dengan kuat dan lemahnya jiwa, seperti jiwa yang sehat ketika sakit dan jiwa yang sakit ketika sehat. Penyakit ini akan hilang jika jiwa dalam kondisi stabil dengan adanya ilmu ladunni dan mengetahui bahwa jiwa di awal penciptaannya sudah alim dan jernih. Jiwa menjadi bodoh karena sakit disebabkan lekatnya jiwa pada tubuh yang tebal, menetap di tempat yang kotor dan gelap, dan ia tidak mampu mewujudkan ilmu yang tidak ada.

Seorang ayah yang cinta dan merindukan anaknya ketika dihadapkan pada urusan memelihara anaknya, ia tentu lupa pada semua urusan dan cukup memikirkan satu urusan, yaitu urusan anak. Jiwa karena sangat rindu dan mencintai fitrahnya, ia akan menetap dalam kerangka fitrahnya, sibuk memakmurkan dan memeliharanya, dan sangat prihatin terhadap kemaslahatannya. Akhirnya, ia tenggelam dalam lautan tabiat dan di tengah-tengah usianya, ia butuh belajar untuk mengingat apa yang lupa dan sangat menginginkan kembalinya kekayaan batin yang hilang. Belajar tidak lain adalah proses kembalinya jiwa kepada intan permata dan mengeluarkan apa yang tersimpan dalam sanubari menjadi tindakan guna mendapatkan kesempurnaan batin dan kebahagiaan jiwa.

Jiwa yang lemah tidak mampu mengarahkan batinnya menuju hakikat intan permatanya dan mengikuti guru yang alim dan penyayang serta minta tolong kepadanya agar membantunya dalam mencari apa yang dicita-citakannya. Jiwa semacam ini seperti orang sakit yang tidak mengetahui cara mengobati penyakitnya. Ia hanya mengetahui bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga yang dicari-carinya.

Karena itu, ia harus kembali kepada dokter jiwa yang cakap dan penyayang. Ia mengutarakan keadaannya kepada dokternya dan minta perlindungan kepadanya agar menyembuhkan dan menghilangkan penyakitnya. Kami melihat seorang alim yang sakit seperti terserang sakit kepala dan dada, lalu ia terhalangi dari semua ilmu, lupa terhadap pengetahuan-pengetahuannya, dan kekayaan ilmunya menjadi kabur, lalu semuanya itu menutupi hapalan dan ingatannya di masa lalu. Ketika jiwa sehat, kesembuhan kembali kepadanya, lupa hilang dari dirinya, dan jiwa kembali kepada pengetahuannya, lalu ia menjadi ingat atas apa yang pernah hilang dari ingatannya.

Dengan demikian, kami mengetahui bahwa ilmu tidaklah lenyap, yang ada adalah ilmu dilupakan. Muhwu (sadar) dan nisyan (lupa) dipisahkan di antara manusia. Muhwu lenyapnya ukiran dan tulisan, sedangkan nisyan adalah terpakaian ukiran pada jiwa, sehingga kedudukannya seperti mendung atau awan yang menutupi sinar matahari dari pandangan orang, bukan seperti matahari yang tenggelam yang disebabkan kepindahan matahari dari arah atas ke arah bawah. Jiwa yang disibukkan dengan belajar adalah proses menghilangkan penyakit dari tubuh jiwa (jiwa bertubuh) agar jiwa kembali mengetahui pengetahuan fitrah dan kesucian awal.

Jika kamu mengetahui sebab, kehendak belajar, hakikat jiwa dan tubuh jiwa, maka ketahuilah bahwa jiwa yang sakit butuh belajar dan menggunakan umur untuk menghasilkan ilmu. Jiwa yang sakitnya ringan, faktor penyebabnya lemah, kejahatannya ringan, mendungnya tipis dan unsur-unsur pembentuknya sehat, maka jiwa semacam ini tidak membutuhkan tambahan ilmu dan kelelahan yang berkepanjangan. Tetapi ia cukup berpikir Sebentar dan ringan karena telah kembali kepada jiwa asalnya, menerima fitrah dan hakikatnya, mengamati kesamarannya, lalu mengeluarkan kekuatan yang tersimpan di dalamnya untuk dijadikan perbuatan nyata.

Jika sudah demikian, ilmu yang terpusat dalam jiwanya menjadi perhiasan dan ia mengetahui banyak hal. Berbagai pengetahuan dapat dikuasainya dengan waktu yang sedikit. Pengetahuan yang dikuasainya diungkapkan dengan redaksional yang indah. Ia menjadi seorang alim yang sempurna, jiwa nya disinari cahaya nafu kully dan nafsu kullynya menyinari nafsu juz'iy. Jiwa yang demikian mampu memutus urat-urat hasud, pangkal dendam, dan mengesampingkan kelebihan dunia dan perhiasannya. Jika jiwa sudah mencapai tingkatan ini, ia mengetahui banyak hal, selamat dan jaya. Inilah permata berharga yang dicari-cari semua manusia.

Hakikat Ilmu Ladunni dan Sebab-sebab Perolehannya

Ketahuilah bahwa ilmu ladunni adalah berjalannya cahaya ilham. Ia terjadi setelah jiwa mengalami kesempurnaan, sebagaimana yang difirmankan Allah swt.: “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya.” (QS. Al Syams: 7). Jiwa yang demikian kembali dengan tiga hal.
Pertama, menghasilkan semua ilmu dan mengambil bagian lebih banyak.

Kedua, latihan batin yang benar dan muraqabah (selalu merasa dirinya diawasi Allah) yang tepat. Nabi saw. menunjukkan hakikat ini dengan bersabda: l'Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, maka Allah mewariskan [nya] ilmu yang belum diketahuinya.”
Ketiga, berpikir. Jika jiwa belajar dan melakukan latihan spiritual dengan ilmu, kemudian memikirkan apa yang telah -diketahuinya dengan memenuhi syarat-syarat berpikir, maka dibukakan padanya pintu gaib. Ini seperti pedagang yang membelanjakan hartanya dengan memenuhi syarat-syarat perdagangan, maka akan dibukakan untuknya pintu-pintu keuntungan. Jika ia berjalan di jalan kesalahan, maka ia akan terjatuh di tempat yang merugikan. Pemikir jika berjalan di jalan kebenaran, ia akan menjadi seorang alim yang masuk golongan ulul albab, lalu dibukakan untuknya rahasia-rahasia ilmu gaib dalam hatinya, sehingga ia menjadi seorang alim yang sempurna dan memiliki akal yang senantiasa terilhami. Rasulullah saw. bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun. ”

Syarat-syarat berpikir telah kami himpun dalam buku kami yang lain karena ini memang persoalan yang sangat penting dan butuh penjelasan tambahan dan pertolongan Allah. Sekarang kami menutup risalah ini. Risalah ini sudah cukup memberi keterangan bagi ahlinya. Allah swt. berfirman: “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tidaklah ia mempunyai cahaya sedikit pun.’} (QS. Al Nur: 40).

Allah adalah Penolong orang-orang mukmin dan kepada-Nya mereka berserah diri. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kami, Muhammad saw., keluarga dan para sahabatnya. Kami cukup dengan Allah dan Allah adalah sebaik-baik wakil. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, Dzat Yang Maha Luhur dan Agung. Hanya kepa-daNya kepercayaanku dalam setiap waktu dan keadaan. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Category:

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Mendalami. Template by: Petunjuk Onlene