Ibnu Syihab Al Azhari (50-123 H/670-741 M), atas anjuran Khalif Umar ibn Abdil-Aziz (99—101 H/717—720 M) dari daulat Umayyah itu, terpandang tokoh paling pertama mengumpulkan dan menyusun Al Hadits secara tertulis. Tetapi kegiatannya terbatas dalam wilayah Syam (Syria & Palestina) dan berhasil mengumpulkan 2.000 buah Al Hadits. Karena ia lahir pada tahun 50 H/670 M maka ia masih sempat beijumpa dengan 10 tokoh dari kalangan Al Shahabi, yakni tokoh-tokoh yang pernah beijumpa dengan Nabi Besar Muhammad, dan selanjutnya berkenalan akrab dengan tokoh-tokoh dari kalangan Al Tabi’in. Bahkan dirinya sendiri termasuk tokoh Al Tabi’in, yakni tokoh-tokoh yang pernah berjumpa dengan kalangan Al Shahabi.
Sebuah di antara Al Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Al Azhari itu menyatakan bahwa ”Ali ibn Abi thalib beserta keluarga Hasyimi dan Zubair ibn Awwam melakukan Bai’at terhadap Abubakar Al Shiddiq itu pada masa enam bulan belakangan, yakni sesudah Fathimah binti Rasul wafat.”
Hal itu dikatakan berpangkal pada suatu kejadian, yakni Fathimah menuntut haknya sepanjang warisan dari Khalif Abubakar itu, mengenai al-Faik dan al-Khumus yang menjadi hak Nabi Besar Muhammad di dalam rampasan perang Faidak dan rampasan perang Khaibar.
Khalif Abubakar tidak memberikannya, karena berpegang kepada sabda Rasul Allah, berbunyi: ’’Kami, pihak Nabi-Nabi, tidak meninggalkan warisan. Segala apapun yang ditinggalkan menjadi harta-Sumbangan'” (Nahnu la-Nuratsu, ma Taraknahu Shadaqatun). Semenjak itu Fathimah tidak pernah menegur Abubakar Al Shiddiq sampai kepada wafatnya, yakni enam bulan sepeninggal Nabi Besar Muhammad. Sepeninggalnya baharulah Ali ibn Abithalib beserta keluarga Hasyimi mengangkat Bai’at terhadap Khalif Abubakar.
Hasyim, putera Abdi-Manaf, adalah moyang Nabi Besar Muhammad. Hasyim itu punya putera bernama Abdil-Muthalib Turunan Hasyim itulah yang disebut keluarga Hasyimi.
Putera lainnya dari Abdi-Manaf bernama Abdi-Syams, yang punya putera bernama Umayyah. Turunannya inilah yang dipanggilkan dengan keluarga Umayyah. Tokoh utama di dalam keluarga ini, yakni Abu Soufyan ibn Harab, yakni bapa dari Ma’awiyah ibn Abi Soufyan, termasuk tokoh yang terlambat melakukan Bai’at terhadap Khalif Abubakar.
Selanjutnya tercatat tokoh-tokoh yang terlambat melakukan Bai’at itu, yaitu: Utbah ibn Abi-Lahab, Khalid ibn Said, Miqdad ibn Amru, Salman Al Farisi, Abuzarr Al Ghiffari, Imar ibn Yasir, Barrak ibn Azib, Ubayya ibn Ka’ab. Semuanya itu dinyatakan punya pendirian yang lebih cenderung kepada Ali ibn Abithalib untuk menjabat Khilafat. Pada saat Ali sendiri mengangkat Bai’at maka mereka pun turut mengangkat Bai’at terhadap Khalif Abu-bakar.
Akan tetapi riwayat lainnya, di luar riwayat yang diungkapkan Al Azhari itu, dinyatakan bahwa Ali beserta keluarga Hasyimi dan keluarga Umayyah itu langsung mengangkat Bai’at bersama-sama penduduk Madinah Al Munawwarah dewasa itu.
Nasib Saad ibn Ubadah
Saad ibn Ubadah, yang menantang pimpinan pihak Al Muhajirin itu, tetap bertahan dengan sikap dan pendiriannya itu. Sewaktu bai’at umum itu telah berlangsung dan dikirim perutusan kepadanya supaya melakukan bai’at maka jawabannya, demikian menurut Tarikh-al-Thabari, berbunyi :
Demi Allah,
Sekalipun habis anakpanah pada busurku Patah ujung tombakku
Terpaksa memarangmu dengan pedang di tanganku Berperang menantang kamu Dengan keluargaku dan pengikutku,
Saya akan tidak melakukan Bai’at !
Demi Allah,
Sekalipun jin dan manusia bersatu Mengangkat bai’at
Tapi saya akan tidak melakukannya ’
Sampai saat dipanggil Tuhan Dan menghadapi perhitungan !
Sekalipun habis anakpanah pada busurku Patah ujung tombakku
Terpaksa memarangmu dengan pedang di tanganku Berperang menantang kamu Dengan keluargaku dan pengikutku,
Saya akan tidak melakukan Bai’at !
Demi Allah,
Sekalipun jin dan manusia bersatu Mengangkat bai’at
Tapi saya akan tidak melakukannya ’
Sampai saat dipanggil Tuhan Dan menghadapi perhitungan !
Jawabannya itu disampaikan kepada Khalif Abubakar. Saad ibn Ubadah itu, menurut tilikan Umar ibn Khattab, merupakan tokoh yang sangat berbahaya bagi perpecahan ummat Islam. Iapun menganjurkan Khalif Abubakar supaya menjatuhkan hukuman mati.
Anjuran Umar ibn Khattab itu sesuai dengan azas-hukum yang disebut dengan: al-Bughat. (Surah Al Hujurat, 9). Akan tetapi Basyir ibn Saad Al Anshari tidak sependapat dengan Umar ibn Khattab. Iapun mengemukakan pendapatnya kepada Khalif Abu-bakar, sebagai berikut :
"Dia itu keras 'kepala dan enggan. Dia itu akan tidak melakukan bai’at terhadap anda, sekalipun anda bunuh. Jikalau dia itu anda bunuh, maka puteranya akan terpaksa anda bunuh, dan kaum keluarganya akan terpaksa anda bunuh, dan begitu-pun pihak yang berhubungan keluarga dengannya. Menurut hemat, saya, sebaiknya anda biarkan saja. Dia itu cuma satu orang. (Innama Huwa rajulun Wahidun)........
Khalif Abubakar memperpegangi pendapat Basyir ibn Saad Al Anshari itu karena tokoh-besar dari kalangan Al Anshar itu belum mengangkat senjata dan belum melakukan perlawanan secara terbuka, sesuai dengan azas-hukum tentang al-Bughat itu. Umar ibn Khattab sendiri dapat memahamkan alas pikiran Basyir Al Anshari itu.
Saad ibn Ubadah lambat laun merasakan terpencil dan dikucilkan oleh masyarakat. Iapun pada akhirnya meluputkan diri ke Syria dan meninggal di kota Hauran pada tahun 15 H/636 M.
Category: sejarah islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar